Berharap dari Calon Tunggal
Pilkada Serentak 2018 diwarnai banyak hal menarik. Salah satu diantaranya membludaknya calon tunggal. Berdasarkan data resmi dari KPU RI, dari 171 daerah yang menggelar Pilkada, 13 daerah diantaranya diikuti satu calon tunggal.
Jumlah ini berarti lebih banyak dari Pilkada 2017, yakni: 9 calon tunggal. Ke-13 daerah tersebut adalah (1) Kota Prabumulih, Sumsel (Pilwalkot), (2) Kabupaten Lebak, Banten (Pilbup), (3) Kabupaten Tangerang, Banten (Pilbup), (4) Kota Tangerang, (Pilwalkot), (5) Kabupaten Pasuruan, Jatim (Pilbup), (6) Kabupaten Karanganyar, Jateng (Pilbup), (7) Kabupaten Enrekang, Sulsel (Pilbub), (8) Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulut (Pilbup), (9) Kabupaten Tapin, Kalsel (Pilbup), (1) Kabupaten Puncak, Papua (Pilbup), (11) Kabuaten Mamasa, Sulbar (Pilbup), (12) Kabupaten Jayawijaya, Papua (Pilbup), da (13) Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumut (Pilbup)
Dalam perspektif UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota serta Bupati dan Wakil Bupati, adanya calon tunggal dapat dianggap sebagai suatu upaya dari perumus UU, dalam hal ini DPR dan pemerintah, untuk menutupi celah dari kekurangan UU yang ada. Sementara dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) menujukkan, adanya penghargaan terhadap individu. Karena dalam perpektif HAM, menjadi kandidat atau tidak menjadi kandidat dalam suatu konstestasi di Pilkada sama-sama harus dihormati dan tidak bisa dipaksa.
Justeru akan dianggap melanggar UU, HAM serta prinsip demokrasi, manakala dalam suatu kontestasi adanya pemaksaan agar oleh lebih dari satu pasangan calon—sementara faktanya di Daerah Pemilihan tersebut hanya ada satu Pasangan Calon yang bersedia mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati atau walikota. Hanya saja masalahnya memang tidak sesederhana yang dibayangkan.
Sebab, acapkali terjadinya calon tunggal karena dari upaya-upaya elit atau pihak-pihak tertentu yang memang sengaja mendisain adanya calon tunggal. Pihak-pihak tertentu tersebut bisa saja berasal dari Mahkamah Konstitusi (MK) maupun pihak lain yang memanfaatkan kelemahan dari UU.
Banyak Faktor
MK dianggap bertanggungjawab dengan banyaknya calon tunggal dalam Pilkada Serentak 2018 karena berdasarkan Keputusan MK, 29 September 2015 atas Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), Pasal 54 ayat (4), ayat (5), dan ayat 6 dari UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang diajukan Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru mengatur persyarata demikian ketat.
Yakni: harus mengumpulkan KTP pendukung sebanyak 10 persen di daerah dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT mencapai 2 juta orang, 8,5 persen di daerah dengan DPT antara 2-6 juta, 7,5 persen di daerah dengan DPT 6-12 juta). Selain memberatkan, persyaratan semacam ini juga menguras kocek dalam-dalam agar dapat memenuhi persyaratan menjadi kandidat dalam Pilkada.
Faktor lainnya adalah pertama, karena kegagalan partai politik (parpol) dalam melakukan kaderisasi kepemimpinan sehingga elit parpol tersebut lebih memilih jalan pintas dengan mengusung calon yang dianggap berpeluang menang dalam Pilkada. Dan calon tersebut umumnya petahana atau kandidat yang mempunyai kocek tebal.
Kedua, bercokolnya oligarki kekuasaan di tingkat lokal yang bisa saja berkonspirasi dengan elit politik pusat sehingga penguasa dan para parpol bersekongkol memborong tiket untuk memilih dan mencalonkan petahana atau yang mempunyai dana besar. Bagi kaum oligarki, tidak peduli akibat ulahnya tersebut merusak sistem demokrasi dan budaya demokrasi yang sehat. Sebab bagi mereka, (mungkin) melawan kotak kosong lebih memudahkan untuk memenangkan kandidat yang diskenariokan.
Ketiga, terlalu kuatnya elektabilitas petahana yang bisa saja berasal dari kinerja ataupun bisa juga akibat kemampuan sumber daya ekonomi petahana tersebut untuk mengkapitalisasi dan memborong semua tiket dari parpol pengusung. Dalam kondisi ini, petahana secara sistematis terindikasi terlibat dalam mendisain Pilkada dengan calon tunggal.
Keempat, banyak bakal kandidat, baik dari partai politik, gabungan partai politik dan terutama dari calon perseorangan kini lebih rasional dan mengedepankan kalkulasi ekonomis (efisiensi). Daripada menghambur-hamburkan uang dan energi untuk berkontestasi dalam Pilkada namun akhirnya kalah atau menjadi pecundang, lebih baik menarik diri dari kontestasi dalam Pilkada.
Kelima, faktor lain yang mungkin melahirkan calon tunggal ada hubunganya dengan budaya politik yang berkembang dalam suatu daerah. Misalnya, menguatnya politik etnisitas, patronase, klientelisme, politik identitas, politik dinasti, dan lain sebagainya. Dalam budaya politik lokal semacam itu, maka persaingan politik acapkali ditabukan dan terjadi ewuh pakewuh untuk dilakukan.
Apalagi kompetitor yang dihadapi berasal dari keluarga sendiri. Berdasarkan data dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), setidaknya ada enam bakal calon Kepala Daerah yang berasal dari dinasti politik, memiliki hubungan keluarga dengan petahana (incumbent).
Jangan Kecil Hati
Dalam UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada diatur, pemenang Pilkada dengan calon tunggal harus mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari suara sah. Selanjutnya konstruksi hukum juga mengantisipasi, jika kurang dari 50 persen dari suara yang sah, maka yang menang adalah kolom kosong. Jika hal terakhir yang terjadi, sebagaimana diatur pada ayat (2) dan ayat (3), Pemerintah menugaskan penjabat Gubernur, penjabat Bupati, atau penjabat Walikota. (Pasal 54D ayat 4).
Sebegitu jauh, selama ini belum ada calon tunggal kalah dari calon yang berasal dari kotak kosong. Tetapi andaikan pada Pilkada Serentak 2018 ada pemenang Pilkada berasal dari kotak kosong, itu suatu kejutan demokrasi.
Masalah yang muncul dalam Pilkada dengan calon tunggal tampaknya bergeser dari sekadar faktor legitimasi kepada faktor kinerja. Secara legitimasi politik adanya calon tunggal dalam Pilkada tidak ada masalah karena diatur dalam UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Bahkan, legitimasinya tergolong tinggi karena ada persyaratan harus menang diatas 50 persen.
Padahal dalam keadaan normal, banyak kandidat dalam Pilkada hanya bisa menang dengan angka dalam kisaran 30 persen. Problemnya sebenarnya lebih pada soal kinerja, dan itu berpulang kepada Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih. Dalam hal kinerja ini sebenarnya tidak terlalu tergantung dari sistem Pilkada lagsung, tidak langsung atau banyak-sedikitnya calon. Semuanya peluang yang sama.
Meskipun menang dari kotak kosong, jika kinerjanya memuaskan rakyat, legitimasi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih, akan terdongkrak. Sebaliknya, sekalipun dengan sistem Pilkada langsung dengan dua calon atau lebih yang ikut dalam kontestasi. Manakala proses, out put dan kinerjanya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilihnya jeblok, apalagi dalam perjalanan kepemimpinannya kemudian terjerambab kasus hukum karena terlibat korupsi, maka perhelatan demokrasi lokal tersebut menjadi tidak banyak artinya.
Oleh karena itu, bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang terpilih dengan calon tunggal, tidak perlu berkecil hati. Melainkan harus lebih terpacu semangat dan kerja keras sehingga mampu membuktikan dirinya dengan kinerja yang positif bagi kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakatya. Rakyat kini tidak terlalu peduli dengan sistem Pilkada langsung dan apalagi janji kandidat, melainkan lebih menunggu dan menghormati bukti nyata.
Direktur Eksekutif Literasi Politik Indonesia (LPI), dan anggota Bawaslu DKI (212-2017).