Biaya Uang Elektronik Tidak Adil dan Merugikan Masyarakat
JAKARTA – Bank Indonesia (BI) saat ini terus meningkatkan elektronifikasi transaksi pembayaran dan peningkatan infrastruktur sistem pembayarannya. Dengan demikian, harapan kedepan masyarakat non tunai dapat diwujudkan.
Namun rencana Bank Indonesia untuk membebaskan perbankan menarik biaya tambahan top up uang elektronik menuai protes. Di antaranya, Anggota Komisi XI DPR RI Ahmad Junaidi Auly menilai kebijakan tersebut tidak adil dan merugikan masyarakat.
“Kebijakan ini kontraproduktif dengan gerakan nasional non tunai yang sudah dicanangkan, seharusnya insentif yang diberikan bukan disinsentif,” kata Junaidi di kompleks DPR RI Senayan, Jakarta, Rabu (20/9/2017).
Rencananya, pengenaan biaya top up untuk uang elektronik dilakukan untuk mendukung upaya penggunaan uang elektronik di seluruh jalan tol. Di Indonesia terdapat dua jenis produk uang elektronik yaitu Chips Based yang berjumlah delapan layanan dan Server Based sembilan layanan.
Padahal menurut Politisi PKS ini, perbankan sudah diuntungkan dengan sistem non tunai tersebut, apalagi ketika uang elektronik diwajibkan seluruh jalan tol.
Junaidi menyatakan, peningkatan layanan seharusnya tidak menunggu ada pengenaan biaya. Sebaliknya, pemberian Insentif seperti diskon saat masyarakat melakukan top up akan mendorong masyarakat beralih kepada uang elektronik.
“Selain itu fokus yang perlu dibenahi perbankan yaitu terkait kualitas fisik uang elektronik sampai dengan adanya layanan uang eletronik di daerah-daerah,” ujarnya.
Menurut Anggota DPR RI asal Lampung ini, Bank Indonesia harus mendengar semua pihak termasuk suara masyarakat. Supaya kebijakan dibuat tidak menimbulkan polemik di masyarakat. Jikapun ada beban yang harus ditanggung, jangan semua beban ditimpakan kepada masyarakat. (Yudi)