Bisa Berdampak PHK Karyawan! Muhidin Mohamad Said Khawatir Turunnya Pendapatan Industri Rokok Dalam Negeri

JAKARTA – Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Muhidin Mohamad Said sangat khawatir menurunnya pendapatan industri rokok di dalam negeri dari tahun ke tahun.
Menurut Muhidin, menurunnya pendapatan perusahaan rokok itu memiliki dampak besar bagi sistem ekonomi di dalam negeri. Terutama,blanjutnya, menurunnya penghasilan produksi rokok tidak hanya berdampak pada sisi produksi dan profitabilitas.
“Menurunnya pendapatan produksi rokok di dalam juga mengancam ekosistem tenaga kerja yang bergantung pada industri tembakau,” kata Muhidin kepada wartawan, Rabu (16/4/2025).
Sebagai informasi, Hingga Februari 2025, penerimaan cukai nasional Rp39,6 triliun. Angka ini mengalami penurunan sebesar 2,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini disebabkan oleh produksi rokok di bulan November dan Desember 2024 hanya 5,2 persen.
Muhidin menjelaskan, hal itu sempat disampaikan saat melakukan Kunjungan Kerja Reses ke PT Gudang Garam di Kabupaten Pasuruan, Jumat (11/04/2025) lalu.
Pada kunjungan itu, Muhidin mengungkapkan soal pentingnya menjaga keseimbangan antara kampanye kesehatan dan perlindungan terhadap industri rokok yang legal dan mematuhi peraturan.
“Kementerian Kesehatan terus mengampanyekan larangan merokok, tapi di sisi lain, industri rokok memberikan dampak ekonomi besar. Dari petani tembakau hingga pekerja pabrik, semua bergantung pada sektor ini. Jadi, tidak bisa hanya dilihat dari aspek kesehatan saja,” terang Muhidin..
Untuk itu, Muhidin menilai, negara juga sangat bergantung pada penerimaan dari sektor cukai. Ia mencontohkan Pandaan di Jawa Timur yang sangat bergantung pada Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).
“Jika operasional pabrik rokok terganggu, maka pembangunan daerah pun akan terdampak. Ini memang situasi dilematis. Kita ingin menjaga kesehatan masyarakat, tetapi kita juga tidak bisa menutup mata bahwa sektor ini menyumbang lapangan kerja besar dan penerimaan negara,” paparnya.
“Kalau pabrik rokok macet, pendapatan daerah ikut terganggu. Ini menyangkut nasib ribuan pekerja dan stabilitas fiskal daerah,” sambung Muhidin..
Lebih lanjut, Muhidin menekankan perlunya koordinasi lintas kementerian dalam merumuskan kebijakan terkait industri tembakau.
“Kebijakan jangan dibuat sektoral. Harus ada sinergi antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan kementerian lainnya. Jangan sampai kampanye kesehatan yang terlalu agresif justru mematikan industri tembakau yang legal dan patuh,” tegasnya.
Ia mengapresiasi langkah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang membentuk satuan tugas khusus dalam penanggulangan rokok ilegal. Namun ia mengingatkan bahwa tantangan di lapangan masih besar.
“Saya mendapat laporan adanya kerja sama antara pengusaha kecil yang jumlahnya besar dan memengaruhi pasar secara signifikan. Rokok ilegal ini tidak membayar cukai sama sekali. Ini jelas merugikan negara,” ujarnya.
Tak hanya itu, Muhidin juga meminta menindak pelaku rokok ilegal harus dilakukan secara serius dan berkelanjutan.
“Mereka sudah menggunakan banyak cara untuk mengelabui petugas. Oleh karena itu, sinergi antara Bea Cukai dan aparat penegak hukum menjadi sangat penting dalam mencegah dan menindak peredaran rokok ilegal,” pungkas Muhidin.
Hingga Februari 2025, penerimaan cukai nasional tercatat sebesar Rp39,6 triliun, mengalami penurunan sebesar 2,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini antara lain disebabkan oleh turunnya produksi rokok pada November dan Desember 2024 sebesar 5,2 persen.