Bisingnya Proses Pemberantasan Korupsi Kita
Oleh. Armawan, Staf Komisi Politik dan Kemanan Nasional PB HMI
Akhir-akhir ini publik social media kembali dibanjiri oleh pemberitaan tentang Ketua DPR yang diduga terlibat dalam skandal korupsi proyek KTP elektronik.
Dari berbagai seliweran pemberitaan lini masa tersebut dapat dilihat bahwa betapa mudahnya mempemainkan opini publik masyarakat awam, dan yang lebih mencemaskan lagi bagi kita adalah dirigen orkestra yang berna opini publik ini dikendalikan dari gedung KPK.
Jadi KPK yang tugasnya adalah mengamankan aset bangsa justru menciptakan orkestra yang kontraprodktif dengan upaya publik untuk mengamati setiap problem yang sedang dihadapi oleh bangsa dan negara.
Pertanya sederhana bisa diajukan kepada KPK, apa KPK tidak memikirkan bahwa kebisingan orkestra pemberantasan korupsi bisa mengalihkan fokus publik ke masalah-masalah besar lain? Atau Apakah KPK memang bekerja untuk menutupi dan/atau mengalihkan isu?.
Pertanyaan ini tentu tidak bermaksud untuk mendelegitimasi peran penting wal strategisnya keberadaan KPK, tapi tentu yang kita perlukan adalah KPK yang kerjanya profesional, rapih dan tidak ikut menjadi polusi di lini media, sehingga publik bisa fokus mengamati setiap public policy process.
KPK BERHENTI MEMBUAT OPINI DAN MERUSAK MENTAL
Biar tidak berpanjang jauh menengok kebelakang, saya ingin menunjukan dua pernyataan pimpinan KPK berkaitan dengan proses pemberantasan korupsi. Pertama adalah berkaitan dengan suap proyek reklamasi, pimpinan KPK menyebut suap yang melibatkan anggota DPRD DKI dan PT APL sebagai Grand Corruption.
Kedengarannya besar dan akan memukur lebih banyak dan lebih besar koruptor kelas kakap, namun ceritanya menghilang begitu saja, entah karena KPK sudah bosan untuk konferensi pers atau media yang menganggap kasus grand corruption tidak seksi lagi.
Kedua, Ketua KPK pada 15 maret 2017 saat memberikan pidato di institut Perbanas yang pemberitaannya dimuat oleh beberapa media mainstream. Dalam pidatonya itu disebutkan, Ketua KPK menyebut ada kasus yang indikasi kerugian negaranya lebih besar dari kasus E-KTP. Sampai hari ini opini ketua KPK itu tidak kunjung terbukti.
Ketiga, dalam kasus E-KTP. Nazarudin adalah narasumber utama kasus E-KTP yang selanjutnya ditindaklanjuti oleh KPK. Dari awal-awal kemunculannya kasus ini sudah menyita perhatian publik, karena KPK melalui dakwaan Jaksa KPK telah merinci aliran dana berserta nominal sekaligus nama penerimanya. Publik dibuat syok dengan langkah bombastis KPK yang sejak dini sudah mempublish nama-nama penerima dana korupsi mega proyek E-KTP.
Pasca itu proses penanganan kasus ini perlahan bergeser menjadi komoditas politik, karena faktanya hampir semua yang disebut namanya sebagai penerima dana, sebagai aktor-aktor penting di partai politik. Namun sesungguhnya ada satu yang belum terjawab dari cara KPK menangani kasus KTP ini adalah bahwa mengapa dari sejumlah nama besar penerima dana korupsi E-KTP yang disebutkan KPK dalam berkas dakwaannya.
Ketua DPR Setia Novanto justru menjadi target utama, dimana sebelum Ketua DPR terebut resmi ditahan, opini publik terus dibentuk agar ketua DPR kehilangan kredibilitas dimata publik. Hal semacam ini tentu sudah menjadi kebiasaan KPK, merusak citra sebelum akhirnya menangkap, dan dalam suatu kerja sistem ysng lebih luas, itu jelas dan pasti tidak baik, karena mungkin kita bisa menangkap satu orang yang korup tapi menciptakan sepuluh orang dengan mental balas dendam.
KEBISINGAN KPK ITU MENGALIHKAN PERHATIAN KITA
Mengawal serta mengevaluasi tiga tahun pemerintah Presiden Jokowi-JK harusnya menjadi fokus utama kita saat ini. Alasannya sederhana, bila evaluasi gagal dilakukan dimasa tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK maka agak sulit bagi kita untuk rasional menilai manakalah momentum politik lima tahunan itu sudah di depan mata. Karena pasti analisis yang disodorkan kepada publik sudah analisis sebagai modal menghadapi tahun politik,dan KPK harus melihat upaya mengawal serta evaluasi kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi-JK sebagai bagian integral daru upaya membesarkan republik.
Karena sejauh ini, KPK hanya fokus pada kasus-kasus yang terjadi dimasa pemerintahan SBY,dan penangangan kasus itu dibuat mewah sehingga menyedot perhatian yang membuat publik lupa kalau negara sedang dililit hutang yang luar biasa besar, serbuan tenaga Kerja Asing khususnya yang dari Tiongkok, serta masalah Reklamasi Teluk Jakarta yang masih belum jelas akhirnya kemana, termasuk menurunnya daya beli masyarakat.
Publik kita kehilangan fokus kritisnya dari yang seharusnya bica mencermati dan mengkritisi kebijakan pemerintah, malah dialihkan hanya sekedar membuat meme untuk Setia Novanto yang sebelumnya telah direstui oleh istana untuk menduduki tahta beringin satu.
Barangkali di sini ada faktor lemahnya publik pedagogis untuk secara cermat menangkap isu penting dan urgent, namun terlepas dari semua itu, KPK sebagai lembaga yang membawah semangat reformasi tentu sangat disayangkan bila akhirnya hanya menjadi dirigen pembuat orkestra pengalih daya kritis publik terhadap istana. []