Bola Panas Kasus Pelanggaran Pemilu PSI, Ujian Pertama Bawaslu Hadapi 2019
Oleh: Achmad Fachrudin, Pemerhati Pemilu, ber-KTP dan berdomisli di Jakarta.
Bermula dari temuan Bawaslu DKI Jakarta akan dugaan pelanggaran kampanye di luar jadwal yang dilakukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam bentuk pemasangan iklan di media cetak Jawa Pos pada 23 April 2018.
Pada iklan tersebut, memuat nomor urut dan logo PSI, serta hasil survei partai dengan judul “Alternatif Cawapres dan Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo”. Selain itu, iklan tersebut, dimuat nama dan foto calon wakil presiden (Cawapres) dan calon menteri periode 2014-2019. Berdasarkan penelusuran dan kajian Bawaslu DKI, iklan tersebut diduga melanggar UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Oleh karena kasus ini sifatnya temuan, penanganan selanjutnya dinaikkan oleh Bawaslu DKI ke Bawaslu RI. Selanjutnya, Bawaslu RI melakukan pembahasan bersama di Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang anggotanya terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan dan Bawaslu RI.
Dengan cara antara lain melakukan klarifikasi dan meminta keterangan dari Ketua Umum PSI Grace Nathalie, KPU RI, ahli di bidangnya, dan sebagainya. Khusus terhadap Grace yang dikenal mantan presenter cantik sebuah stasiun televisi swasta, beberapa kali panggilan Bawaslu RI tidak digubris. Sebaliknya, diwakilkan kepada Sekretaris Jenderal PSI Raja Juli Antoni dan Wakil Sekretaris Jenderal PSI Chandra Wiguna.
Setelah melalui pembahasan intensif, Gakkumdu Tingkat Pusat akhirnya menyimpulkan, iklan PSI tersebut masuk dalam kategori kampanye sebagai tertuang pada Pasal 1 ayat 35 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang menyebutkan, definisi kampanye sebagai kegiatan peserta Pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta Pemilu.
Selain itu, iklan tersebut dianggap mencuri start kampanye karena memasang lambang dan nomor urut PSI, yang dianggap sebagai citra diri peserta Pemilu 2019. Padahal kampanye peserta Pemilu 2019 baru dimulai pada 23 September 2018.
PSI juga dianggap telah memenuhi unsur pidana Pemilu sebagaimana diatur pada Pasal 492 UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Pada Pasal 492 disebutkan, “setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye Pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU kota/kabupaten dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta”.
Sejurus kemudian, Bawaslu RI melaporkan PSI ke Bareskrim Mabes Polri pada 17 Mei 2018. Sesuai dengan aturan perundangan, polisi mempunyai waktu untuk melakukan penyidikan paling lama 14 hari sejak diterima (dari laporan Bawaslu). Selanjutnya kepolisian menetapkan tersangka dan masuk dalam proses penuntutan.
SP3 PSI
Dalam proses pendalaman penyelidikan di Bareskrim, PSI berkilah, iklan berupa polling yang dibuatnya bukan merupakan bagian dari kampanye Pemilu.
Bagi PSI, iklan itu adalah pendidikan politik untuk masyarakat. Dalam materi tersebut tidak ada satupun foto pengurus DPP PSI, justeru yang muncul adalah elite-elite partai lain. Yang mengejutkan, dalam penyidikan di Bareskrim, pihak KPU mengubah keterangannya dari sebelumnya (Gakkumdu) menyebut apa yang dilakukan oleh PSI masuk dalam kategori iklan, menjadi tidak mengandung pelanggaran kampanye.
Perubahan pandangan KPU dan kemampuan pihak PSI membela diri dan sangat mungkin pihak Bareskrim juga telah mengkroscek ulang kepada Gakkumdu yang menangani kasus iklan PSI di luar jadwal kampanye yang seharusnya, menjadi dasar bagi Bareskrim menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan terhadap kasus iklan PSI atau yang biasa disebut dengan SP3.
Apakah itu berarti pembahasan kasus tersebut di Gakkumdu kalah kualitas dibandingkan dengan pendalaman kasus tersebut di Bareskrim sehingga Bareskrim menerbitkan SP3 terhadap kasus PSI? Mungkin ya… dan mungkin juga tidak.
Yang jelas, langkah Bareskrim menerbitkan SP3 atas kasus PSI dimungkinkan karena kepolisian berwenang melakukannya jika dianggapnya tidak cukup bukti, atau lebih luas lagi tidak memenuhi syarat formil dan materiil sebagaimana dimaksud dengan UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Namun jika menggunakan nalar lineal, mestinya hasil penyelidikan dan pendalaman di kepolisian tidak jauh berbeda dengan keputusan Gakkumdu. Bukankah anggota Gakkumdu di dalamnya ada unsur dari kepolisian? Jika terjadi perbedaan, tentu harus dievaluasi dan dikaji secara mendalam: di mana letak something wrong-nya saja?
Evaluasi ini penting agar kasus serupa tidak terjadi lagi. Sebab jika terjadi lagi—dan realitasnya memang ada beberapa kasus yang mirip sempat terjadi—bisa menimbulkan ketidakpastian dalam proses penegakan hukum di Pemilu/Pilkada yang berkeadilan.
Menunggu Gebrakan
Pertanyaannya kemudian, apakah dengan penerbitan SP3 kepada PSI dari Bareskrim, berarti persolan terkait dengan kasus PSI menjadi selesai? Bisa saja dianggap selesai, manakala pihak Gakkumdu khususnya Bawaslu menerima dengan legowo penetapan SP3 atas kasus PSI oleh Bareskrim.
Tetapi hal ini tampaknya belum. Faktanya, anggota Bawaslu RI Rahmat Bagja menilai KPU RI telah bersikap mencla-mencle. Maksudnya, saat diminta keterangannya di Gakkumdu, KPU menyatakan iklan PSI melanggar aturan. Namun saat di Bareskrim, KPU menyatakan tidak melanggar aturan.
Dengan menyebut KPU telah berlaku mencla-mencle (tidak konsisten), artinya Bawaslu RI belum legowo menerima keputusan Bareskrim yang menerbitkan SP3 atas kasus PSI.
Penilaian anggota Bawaslu RI terhadap sikap KPU dalam kasus PSI, sah-sah saja karena Bawaslu berhak memberikan penilaian atas proses (pelangaran) Pemilu yang ditangani.
Namun demikian, akan lebih baik manakala Bawaslu melakukan evaluasi komprehensif terkait dengan prosedur dan strategi penanganan pelanggaran pidana di Gakkumdu saat ini maupun sebelumnya. Tujuannya agar kasus semacam ini yang pasti akan banyak ragamnya tidak terjadi lagi.
Oleh karena itu, komunikasi dan koordinasi yang baik dengan pihak kepolisian, kejaksaan maupun KPU RI harus makin diitensifkan lagi. Apalagi amanat UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu makin menuntut proses pencegahan dan penindakan pelanggaran Pemilu dilakukan secara komprehensif, profesional, transparan dan akuntabel.
Tetapi jika Bawaslu sudah merasa bekerja maksimal namun hasilnya ada yang tidak sesuai dengan harapan atau mengganjal, maka pandangan Ketua Advokasi Hukum dan Pemilu Jawa Tengah Teguh Purnomo yang menyarankan Bawaslu untuk melakukan langkah gugatan pra peradilan atas putusan Bareskrim, patut dipertimbangkan.
Sedangkan terhadap anggota KPU yang dianggap telah mancle-mencle, perlu dipertimbangkan harus dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Sementara bagi anggota kepolisian atau kejaksaan—jika juga dianggap bersikap mencla-mencle—dapat saja diadukan ke propam atau ke Mahkamah Agung. Menurut mantan Ketua Bawaslu Provinsi Jawa Tengah, hal tersebut lebih penting dilakukan Bawaslu RI dari pada sekadar mengeluh di media massa atas kasus ini.
Manakala tidak ada langkah-langkah lanjutan yang jelas dan tegas dari Bawaslu atas kasus PSI dan hanya curhat di media massa atau di media sosial, hal ini bisa menjadi preseden kurang baik dalam penanganan pelanggaran Pikada Serentak 2018 maupun Pemilu Serentak 2019 yang pastinya akan jauh lebih kompleks.
Nantinya bukan tidak mungkin publik menjadi ragu dengan keseriusan, ketangguhan, ketegasan dan ketuntasan Bawaslu dalam menangani kasus-kasus pelanggaran Pemilu yang ditanganinya, baik pelanggaran pidana maupun administrasi.
Dengan kata lain dengan reaksi keras dari Bawaslu RI terhadap sikap mencla-mencle dari KPU atas kasus PSI, maka bola panas kini berada di tangan Bawaslu. Kita tunggu saja apa gebrakan yang akan dilakukan oleh Bawaslu RI selanjutnya. []