Calon Tunggal
Oleh: Muslim Arbi, Pengamat Sosial Politik, Alumni HMI
Kalender 2018 baru berjalan di bulan Maret, dan konon ini adalah tahun politik. Tahun ini akan di lakukan pilkada serentak di sejumlah Daerah. Tahun depan, 2019 akan di lakukan Pemilu Serentak.
Artinya Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden di satukan. Seorang Capres akan jadi Capres, bilamana, memenuhi Parlemen Threshold 20%.
Yang jadi pertanyaan adalah, bagaimana menentukan 20% Parlemen Threshold jika, Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden di serentak, atau di satukan?
Mahkamah Konsitusi (MK), pun ikut koor dengan Usulan Istana dan Parlemen dengan PT 20 %. Padahal PT 20% itu adalah manut pada hasil Pemilu Legislatif (Pileg) 2014. Dan tidak ada aturan, keputusan MK putuskan PT 20%, merujuk pada hasil Pileg 2014.
Di Publik suara2 menghendaki agar PT 0 %, dan suara2 itu lebih pas dan rational. Karena Pileg dan Pilpres Serentak. Maka lebih pas dan cocok adalah PT 0 %, biar Demokrasi lebih berkualitas dan tidak mengikuti skenario elit Parpol dalam Oligarki.
Karena tidak semua rakyat adalah anggota Partai Politik, sehingga pemaksaan PT 20 %, pemaksaan kehendak Oligarki Parpol (PT 20%).
Jika Pemerintah mau pemilu dan demokrasi berkualitas, mestinya. Tidak mematok PT 20, data lama. Yang tidak bisa di jadikan patokan.
Pemaksaan data lama (Pileg 2014), sebenar nya cerminan ketakutan, Istana dan Koalisinya untuk memenangkan jago nya. Jadi bisa di katakan, jika PT 2O %, maka bisa saja ini semacam jualan kemasan produk lama. Padahal Rakyat ingin Presiden Baru. Ini tercermin dari sejumlah Hasil Surevi yg di lansir belakangan ini.
Oleh karena takut jagonya kalah itu, maka sekarang di buat kemasan baru, cessing baru hp lama (hehehe). Yaitu Calon Tunggal. Calon tunggal, nama nya pembodohan publik, a demokratis, dan tidak rational. Kita alami kemunduran demokrasi.
Mestinya, jika Istana dan koalisi ny tidak ketakutan, wajib membuka ruang agar Capres sebanyak Peserta pemilu 2019. Ada 15 Partai pada Pemilu 2019. Mestinya ada 15 Capres. Setiap Parpol peserta Pemilu di beri hak agar dapat memajukan Capres sendiri2. Ini malah tidak, Capres 2019 di bandrol dengan PT 20%.
Jika, suara Publik menghendaki Presiden baru, maka nasib Parpol Pendukung Capres tunggal akan apes. Bisa jadi Partai Gurem dan minoritas di Parlemen. Hari ini boleh saja berada di urutan Partai Besar, tetapi jika kualitas pemerintahan yang sibuk pencitraan dan kecewakan Rakyat selama Rezim ini berkuasa, bisa membuat Oligarki Istana itu, akan jadi Partai unyil, hehehe.
Calon tunggal Capres, terlihat di kemas, dengan berbagai cara dan manuver. Tapi Rakyat sudah semakin cerdas, itu terlihat dengan simulasi Jokowi kalah berhadapan dengan Kotak Kosong. Jika berhadapan dengan kotak kosong saja kalah, maka bisa jadi jika, ada Capres lebih dari satu pasti Jokowi kalah. Sehingga pengguliran Capres Tunggal itu bisa bunuh diri secara politik.
Bisa juga Calon Tunggal ini adalah demi kepentingan Oligarki Parpol dan Pemodal. Anda ingtkan pada Pilpres 2014, semua media besar di kuasai dan tiap hari yang ada adalah Jokowi dan iklan nya. Berapa dana habis untuk itu? Anda tahunkan siapa pemilik modal di Negeri ini? Setelah itu sejumlah Proyek bermasalah pun muncul, semisal Reklamsi, Mekarta dsb nya.
Oleh karena nya, jangan mengulang lagi Capres dan Presiden Boneka di 2019. Terlalu mahal mempertaruhkan nasib Negeri ini di tangan Oligarki Parpol dan Kaum Pemodal. Dan Pemilu 2019 adalah bukan sejenis permainan Dadu di Meja Judi.
Surabaya, 13 Maret 2018