Catatan Hukum 2017, Ragam Pesan di Balik Penegakan Hukum

 Catatan Hukum 2017,  Ragam Pesan di Balik Penegakan Hukum

Bendahara Umum DPP Partai Golkar dan Ketua Komisi VII DPR RI, Bambang Soesetyo

Oleh: Bambang Soesatyo, Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Golkar dan Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

KARENA lemahnya pengawasan oleh negara dan belum efektifnya sistem pencegahan, tindak pidana atau kejahatan skala besar masih marak. Hanya dengan kepedulian dan kearifan publik, tindak pidana bisa diminimalisir. Itulah salah satu pesan yang bisa dimunculkan dari potret penegakan hukum sepanjang tahun 2017.

Ada sejumlah kasus besar yang menjadi perhatian publik, tetapi isu terkait tindak pidana masih didominasi kasus-kasus korupsi. Banyak menyita perhatian publik dari seluruh wilayah nusantara karena kasus-kasus korupsi itu melibatkan sejumlah orang yang sedang menggenggam jabatan publik, terutama beberapa kepala daerah hingga pimpinan DPR. Isu tentang korupsi memuncak ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tipikor mulai menggelar proses hukum kasus e-KTP.

Masih terkait dengan isu korupsi, sejak pertengahan tahun 2017, publik juga menyoal isu tentang langkah DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk masalah KPK. Lewat penggalangan opini, isu tentang Pansus KPK sengaja dimispersepsikan sebagai manuver DPR memperlemah KPK. Sebaliknya, DPR berupaya meyakinkan masyarakat bahwa Pansus KPK lebih bertujuan memperkuat dan membenahi tata kelola KPK.

Tidak mungkin DPR sebagai lembaga tinggi negara berniat memperlemah KPK, ketika rakyat diwakilinya tahu betul bahwa praktik korupsi masih sangat marak, baik pada birokrasi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Isu lain yang juga tidak kalah intensitasnya adalah tindak pidana narkotika dan obat-obatan terlarang (Narkoba). Dilihat sebagai pasar yang besar, intensitas penyelundupan Narkoba ke wilayah Indonesia tetap tinggi. Paling menghebohkan adalah kasus penangkapan kapal Wanderlust yang mengangkut sabu seberat 1 (satu) ton di perairan Tanjung Berakit. Negara harus lebih bersungguh-sungguh memerangi penyelundup dan pengedar narkoba. Masyarakat pun harus meningkatan kepedulian atas masalah ini. Kecenderunganya sudah sangat mengkhawatirkan.

Sebab, tindak pidana narkoba tidak hanya dilakukan para penjahat, tetapi juga melibatkan oknum pegawai atau petugas negara. Masa depan ketahanan nasional menjadi taruhannya karena para pengedar narkoba menyasar generasi muda.

Tindak pidana penipuan yang membidik orang banyak pun masih marak, dengan beragam modus. Demikian maraknya sehingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus membentuk Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi. Dalam periode Januari-Oktober 2017, Satgas ini harus menghentikan kegiatan usaha 62 perusahaan. Dari jumlah itu, sebanyak 12 perusahaan sedang menjalani proses hukum. Satgas harus menutup puluhan perusahaan itu karena tidak memiliki izin usaha atas produk investasi yang ditawarkan kepada masyarakat. Lagi pula, ada potensi kerugian yang akan ditanggung masyrakat karena imbal hasil yang ditawarkan tidak masuk akal.

Tentu saja, kasus First Travel paling menghebohkan. Perusahaan ini memang tidak menawarkan produk investasi, tetapi modusnya mirip dengan pelaku kejahatan yang menawarkan investasi bodong. First Travel menghimpun dana masyarakat yang akan melaksanakan ibadah umroh di Tanah Suci. Jumlah dana yang dihimpun hampir mencapai satu triliun rupiah. Jumlah korbannya mencapai puluhan ribu orang. Proses hukum atas kasus ini pun sedang berjalan.

Maraknya praktik korupsi, penyelundupan narkoba dan penipuan yang membidik orang banyak bisa terjadi karena sistem pengawasan oleh negara masih lemah. Ragam upaya pencegahan pun sudah dicoba, tetapi efektivitasnya terlihat sangat rendah. Semua institusi penegak hukum pun telah bekerja keras menindak para pelaku tindak pidana. Namun, sebagaimana bisa dilihat dan dirasakan, tindak pidana korupsi, kejahatan penyelundupan dan peredaran narkoba, serta ragam modus pidana penipuan masyarakat tetap marak.

Karena lemahnya pengawasan dan belum efektifnya pencegahan, prioritas pilihan tindakan yang paling masuk akal adalah kesadaran bersama meminimalisir tindak pidana, sekaligus meminimalisir pula jumlah korban dan kerugian. Target ini bisa diwujudkan jika masyarakat meningkatkan kepedulian dan kearifan. Peduli pada ketertiban dan keamanan lingkungannya masing-masing. Dan, dengan mau belajar tentang akibat atau ekses dari rangkaian peristiwa tindak pidana sebelumnya, masyarakat hendaknya lebih arif dalam membuat pilihan.

Pesan Politik

Tindak pidana korupsi yang melibatkan begitu banyak kepala daerah sejatinya memberi pesan politik kepada masyarakat. Pesan politiknya adalah masyarakat telah salah memilih. Karena salah, amanah kepemimpinan itu justru jatuh dalam genggaman sosok kepala daerah yang korup. Kesalahan kolektif itu sangat mencolok terlihat sepanjang tahun ini. Sebab, terhitung sejak Januari hingga September 2017, sebanyak delapan (8) kepala daerah digelandang KPK karena terlibat korupsi.

Semua pihak patut prihatin. Bayangkan, dalam rentang waktu kurang dari 60 hari (2 Agustus – 26 September), tercatat enam kepala daerah harus diinapkan di ruang tahanan KPK. Mereka adalah Bupati Pamekasan Achmad Syafii (ditangkap 2 Agustus), Wali Kota Tegal Siti Masitha (29 Agustus), Bupati Batubara Sumatera Utara, OK Arya Zulkarnaen (13 September), Wali Kota Batu Eddy Rumpoko (16 September), Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariya (22 September), dan Bupati Kutai Kertanegara Rita Widyasari (26 September). Sedangkan Bupati Klaten Jateng, Sri Hartini ditangkap 8 Januari, sementara Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti ditangkap 21 juni 2017. Tahun 2016, tercatat 10 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi.

Selama ini, area rawan korupsi meliputi dana hibah bantuan sosial, perencanaan anggaran, biaya untuk pihak ketiga serta belanja barang dan jasa. Apakah korupsi oleh kepala daerah akan berkurang? Jawabannya bergantung pada kearifan masyararakat menggunakan hak pilihnya. Pertanyaan ini relevan untuk dikedepankan karena tahun 2018 akan dilaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada 27 Juni 2018, di 171 daerah pemilihan; meliputi 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten.

Masyarakat di setiap daerah pemilihan diharapkan berpikir jernih dan obyektif dalam menilai sosok calon pemimpin daerahnya. Pesannya sederhana saja, pada periode 2016 dan 2017, setidaknya 18 daerah telah terbukti salah memilih sosok pemimpin daerahnya, karena belasan kepala daerah itu kini berurusan dengan KPK. Tentu saja 171 daerah yang akan memilih gubernur, bupati dan walikota pada tahun mendatang diharapkan tidak melakukan kesalahan yang sama.

Presiden Joko Widodo akan membantu semua kepala daerah untuk memperkecil peluang korupsi. Presiden akan mendorong semua kepala daerah menerapkan transparansi dalam perencanaan dan penganggaran proyek. Untuk itu, Presiden akan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang penerapan e-planning, e-budgeting dan e-procurement. Untuk sekadar diketahui oleh masyarakat, banyak kepala daerah kurang antusias merespons gagasan ini. Maka, ketika memilih sosok kepala daerah, masyarakat hendaknya tidak ceroboh.

Waspada dan Prudent

Maraknya tindak pidana narkoba dan penipuan sepanjang 2017 memberi pesan kepada masyarakat untuk waspada dan berhati-hati (prudent). Para orang tua harus meningkatkan kepedulian pada dinamika lingkungannya masing-masing, karena perdagangan dan peredaran narkoba makin marak. Gambarannya bisa terbaca dari perkiraan nilai transaksi narkoba. Menurut Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Budi Waseso, nilai transaksi penjualan narkoba di dalam negeri diperkirakan sudah mencapai Rp 250 triliun per tahun.

Kalau nilai transaksinya sebesar itu, dia juga menggambarkan luasnya jelajah peredaran narkoba di negara ini. Barang haram itu tidak hanya ditransaksikan di tempat-tempat hiburan, melainkan sudah berpenetrasi hingga ke pemukiman penduduk. Tidak hanya di konsumsi masyarakat di kota-kota besar, tetapi juga hingga ke pelosok-pelosok.

Pun sudah terbukti bahwa narkoba tidak hanya diperjual-belikan oleh bandar dan pengedar. Bahkan oknum penegak hukum hingga sipir penjara pun melakukan pekerjaan terlarang itu. Belum lama ini, seorang Kepala Pos Polisi di wilayah Jakarta Pusat ditangkap jajaran Polres Metro Jakarta Barat karena yang bersangkutan menekuni pekerjaan sebagai bandar narkoba. Kasus ini menambah panjang daftar oknum aparatur negara yang menjadi bagian sindikat narkotika.

Dengan begitu, masyarakat tidak bisa sepenuhnya mengharapkan perlindungan dari negara. Bahkan alat-alat negara sekali pun tampak kedodoran dalam mencegah penyelundupan narkoba. Seperti diketahui, Pemerintah sudah membentuk satuan kerja lintas sektoral untuk menangkal penyelundupan narkoba. Namun, efektivitasnya belum maksimal.

Buktinya, pada Juli lalu, kapal Wanderlust yang mengangkut sabu seberat 1 ton dari Cina bisa masuk hingga ke perairan Tanjung Berakit di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Kendati kapal Wanderlust tertangkap, dia tetap saja menjadi bukti bahwa intensitas penyelundupan narkoba ke dalam negeri masih sangat tinggi. Untuk menangkal penyelundupan, penegak hukum Indonesia harus mengamankan garis pantai sepanjang 18.000 kilometer dengan ratusan pelabuhan kecil yang tersebar luas di banyak daerah terpencil.

Selain mewaspadai penetrasi peredaran narkoba, masyarakat juga perlu menerapkan prinsip kehati-hatian untuk menyikapi maraknya aksi dan modus penipuan. Setidaknya, masyarakat patut belajar dari pengalaman buruk puluhan ribu orang yang menjadi korban First Travel. Ini benar-benar kasus penipuan skala sangat besar. Berhasil menghimpun dana sebanyak Rp 848,7 miliar. Tercatat sedikitnya 58.682 calon jamaah atau pemilik dana yang menjadi korban penipuan.

Belajar dari kasus First Travel dan kasus-kasus lainnya, masyarakat harus bersikap prudent atau sangat berhati-hati dalam menanggapi penawaran investasi, terutama investasi dengan iming-iming keuntungan sangat besar. Kesediaan masyarakat untuk waspada dan bersikap hati-hati sangat diperlukan untuk menangkal penawaran jasa dan produk investasi yang tidak masuk akal.

Sinergi antara masyarakat dengan Polisi kini sangat terbuka. Seperti diketahui akhir-akhir ini, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terus berimprovisasi untuk beradaptasi dengan perubahan zaman. Improvisasi atau penyesuaian harus dilakukan dan dipraktikan agar efektivitas tugas, peran dan fungsi Polri terus terjaga, dan semakin meningkat dari waktu ke waktu.

Perubahan zaman mengubah banyak dimensi kehidupan bermasyarakat. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa polisi pun harus menjadi bagian tak terpisah dari masyarakat pengguna teknologi informasi sekarang ini. Tidak hanya menjadi pengguna, tetapi polisi pun harus memahami potensi pemanfaatan teknologi informasi untuk kegiatan-kegiatan melanggar hukum.

Salah satu penyesuaian sedang berjalan adalah agenda community policing dan democratic policing. Pendekatan community policing berintikan maksimalisasi keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam mewujudkan tujuan kepolisian. Pada agenda community policing, masyarakat didorong untuk peduli pada keamanan dan ketertiban pemukimannya. Individu atau kelompok warga diharapkan bisa segera merepons potensi gangguan keamanan dan ketertiban dengan tindakan terukur, misalnya dengan inisiatif melapor kepada polisi terdekat.

Melalui community policing, polisi dan masyarakat akan bisa menangkal kejahatan narkoba, penipuan berkedok investasi dan memberantas pungutan liar serta korupsi.

Selamat Tahun Baru 2018

Facebook Comments Box