Dalil Larangan Pilih Pemimpin Kafir Lebih Banyak dari Larangan Zina, Judi, Miras…
JAKARTA, Lintasparlemen.com – Dalam aturan demokrasi memang tak ada larangan memilih pemimpin beda aqidah atau pemahaman agama. Namun, dalam agama masing-masing pemeluk kepercayaan diarahkan memilih sesuai arahan alim ulama. Di antaranya dalam ajaran Islam.
Seperti kasus di DKI Jakarta, sangat santer membahas soal beda agama dan kepercayaan dalam memilih calon pemimpin. Bahkan masing-masing tim calon, khususnya yang lolos ke putaran kedua makin gencar menggunakan isu agama.
Hal itu wajar, dan di negara manapun pasti memakai sentimen itu jika penganut mayoritas ingin menang dalam percaturan politik. Dan dalam demokrasi tak ada larangan untuk itu. Sah-sah saja selagi tak mengganggu keamanan kehidupan masyarakat.
Seorang ulama tabi’in, Muhammad bin Sirin mengatakan,
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
Ilmu ini agama, karena itu, perhatikanlah, dari mana kalian mengambil agama kalian. (HR. Muslim 26 & ad-Darimi 427)
Karena itu, para ulama di masa silam memahami bahwa mengambil guru, termasuk tindakan yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Ta’ala. Kita bisa lihat, pernyataan Imam as-Syafi’i, ketika beliau memuji gurunya Imam Malik rahimahumallah. Beliau mengatakan,
رضيت بمالك حجة بيني وبين الله
“Aku ridha Malik sebagai hujjah antara aku dengan Allah.” (at-Tahdzib, 8/10)
Alasan itu, kita perlu hati-hati memilih sumber ilmu. Utamanya saat ini, zaman manusia jauh dari ilmu, sementara media liberal lebih berkuasa mengendalikan pola pikir mereka.
Sehingga ustad yang dipilih, harus memenuhi kriteria media liberal itu. Ini persis seperti yang pernah disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ، يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ، وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ، وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ
“Akan datang kepada manusia masa-masa penuh kedustaan. Pendusta dianggap jujur dan orang jujur dianggap pendusta, pengkhianat dianggap amanat, dan orang amanat dianggap pengkhianat.” (HR. Ibnu Majah 4036 dan dishahihkan dalam Shahih al-Jami’)
Sangat aneh jika ada yang anggap dirinya ustad menyamakan pemimpin dengan pilot. Dalam ushul fiqh disebut qiyas ma’al fariq… analogi yang tidak nyambung.
Karena pilot hanyalah seorang ajiir, orang yang diupah. Sementara pemimpin negara atau gubernur, mereka bisa menetapkan kebijakan yang mengendalikan rakyatnya dalam satu keputusan.
Banyak dalil yang melarang memilih orang kafir sebagai pemimpin di antara umat Islam mayoritas.
1. Firman Allah,
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai kaum mukminin.” (QS. an-Nisa: 141).
2. Al-Qadhi Ibnul Arabi mengatakan,
إنَّ الله سبحانه لا يَجعل للكافرين على المؤمنين سبيلاً بالشَّرع، فإن وجد فبِخلاف الشرع
Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan menjadikan orang kafir untuk menguasai kaum mukminin secara aturan syariat. Jika itu terjadi, berarti menyimpang dari aturan syariat. (Ahkam al-Quran, 1/641)
3. Allahu berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah rasul-Nya dan ulil amri diantara kalian.” (QS. an-Nisa: 59)
Kalimat ‘min-kum’ yang artinya diantara kalian, maknanya adalah diantara kaum muslimin. Sehingga, mereka tidak boleh memilih pemimpin non-muslim.
Ketika menafsirkan surat Ali Imran ayat 118, Al-Qurthubi mengatakan,
نَهى الله المؤمنين بِهذه الآية أن يَتَّخِذوا من الكُفَّار واليهود وأهل الأهواء دُخلاءَ ووُلَجاء يُفاوضونهم في الآراء، ويُسندون إليهم أمورَهم
Allah melarang kaum mukminin, berdasarkan ayat ini untuk memilih orang kafir, orang yahudi, dan pengikut aliran sesat untuk dijadikan sebagai orang dekat, orang kepercayaan. Menyerahkan segala saran dan pemikiran kepada mereka dan menyerahkan urusan kepada mereka. (Tafsir al-Qurthubi, 4/179).
Ulama telah bersepakat, memilih pemimpin kafir hukumnya terlarang.
Al-Qadhi Iyadh mengatakan,
أجمع العلماءُ على أنَّ الإمامة لا تنعقد لكافر، وعلى أنَّه لو طرأ عليه الكفر انعزل
Para ulama sepakat bahwa kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada oranng kafir. Termasuk ketika ada pemimpin muslim yang melakukan kekufuran, maka dia harus dilengserkan. (Syarah Sahih Muslim, an-Nawawi, 6/315).
Ibnul Mundzir mengatakan,
إنَّه قد “أجمع كلُّ مَن يُحفَظ عنه مِن أهل العلم أنَّ الكافر لا ولايةَ له على المسلم بِحال
Para ulama yang dikenal telah sepakat bahwa orang kafir tidak ada peluang untuk menjadi pemimpin bagi kaum muslimin apapun keadaannya. (Ahkam Ahlu Dzimmah, 2/787)
Al-Hafidz Ibnu Hajar bahkan memberikan keterangan lebih sangar,
إنَّ الإمام “ينعزل بالكفر إجماعًا، فيَجِب على كلِّ مسلمٍ القيامُ في ذلك، فمَن قوي على ذلك فله الثَّواب، ومَن داهن فعليه الإثم، ومن عَجز وجبَتْ عليه الهجرةُ من تلك الأرض
Sesungguhnya pemimpin dilengserkan karena kekufuran yang meraka lakukan, dengan sepakat ulama. wajib kaum muslimin untuk melengserkannya. Siapa yang mampu melakukan itu, maka dia mendapat pahala. Dan siapa yang basa-basi dengan mereka, maka dia mendapat dosa. Dan siapa yang tidak mampu, wajib baginya untuk hijrah dari daerah itu. (Fathul Bari, 13/123)
Fatwa-fatwa yang disampaikan para ulama di atas, berdasarkan hadis dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu,
بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Kami berbaiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk selalu mendengar dan taat kepada pemimpin, baik dalam suka maupun benci, sulitan maupun mudah, dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian melihat kekufuran secara nyata dan memiliki bukti yang kuat dari Allah.” (Muttafaq ‘alaih) Allahu a’lam bisshowab