Dapatkah 2045, Indonesia sebagai Salah Satu Kiblat Dunia?
Sejarah merupakan suatu gerak waktu yang bersifat dialektik, namun tetap mengandung akumulasi dan progres.
Jika kita tinjau selintas sejarah umat manusia, dapatlah kita simpulkan empat babakan sebagaimana berikut. Babak pertama, sejarah umat manusia yang didominasi oleh pemujaan terhadap dewa-dewa yang dikonkretkan berupa patung. Ajaran pemujaan ini memandang manusia terdiri dari anak-anak dewa yang terjelmakan pada raja-raja di satu pihak, dan hamba-hamba dewa, yaitu rakyatnya di pihak lain. Babak ini penuh dengan mitos dan narasi-narasi tanpa verifikasi akal logis empirik dan fakta.
Karena aktivitas penting dari babak sejarah pertama ini ialah upacara pemujaan para dewa, maka segala sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dianggap penting dan berharga bermuara kepada aktivitas pemujaan dewa ini. Maka bahan-bahan alam untuk menunjang aktivitas pemujaan ini, begitu sangat dibutuhkan, berharga, diburu dan menjadi sangat mahal. Bahan-bahan dupa seperti kayu gaharu, cendana, kemenyan, kamper dan bahan-bahan aromatik mistis, yang tidak semua wilayah bumi tersedia, menjadi sangat mahal. Maka pada masa itu, wilayah Nusantara yang kaya akan bahan-bahan alami dupa dan aktivitas pemujaan, menjadi tersohor.
Babak pertama ini, durasinya sangat panjang. Biarpun para Nabi muncul untuk menantang babak sejarah dewa-dewa ini, namun tidak ada yang benar-benar berhasil sebagaimana keberhasilan yang diraih oleh Nabi Muhammad Saw. Karena sebentar lagi kita merayakan Maulid Nabi, sewajarnya kita mengirimkan doa dan salam kepada beliau atas keberhasilannya yang membebaskan kita umat manusia dari cengkeraman kekuasaan imajinatif-buatan atas nama dewa-dewa hingga kita dapat menjadi manusia merdeka seutuhnya.
Babak kedua sejarah berikutnya ialah pelepasan dari mitos dewa-dewa dan penundukan diri umat manusia pada Tuhan yang sebenarnya, pencipta dan pentadbir alam semesta dan seisinya. Inilah Allahsentrisme atau bolehlah disebut teosenstrisme. Inilah babak sejarah Islam yang dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw dari jazirah Arab yang kemudian mengantarkan umat manusia mengadopsi cara berpikir merdeka, saintifik dan kemudian kebablasan menjadi sekular dan ateis yang disebut dengan modern, sebagai babak sejarah ketiga.
Babak ketiga ini, berlangsung cukup lama hingga timbul sejarah di Eropa berupa renaisans dan pemberontakan terhadap kekuasaan gereja terhadap individu dan masyarakat. Orang tidak percaya pada lembaga gereja dan orang mendaulat sains sebagai parameter kebenaran. Rentetan dari perubahan paradigma ini sangat dalam dan luas hingga mempengaruhi seluruh umat manusia dewasa ini. Dan sekarang kita masih di babak ketiga ini, dan rasanya menuju transisi ke babak keempat.
Babak ketiga sejarah modernisme ini memperkenalkan paradigma antroposentrisme, yaitu semua berpulang dan berparameter kepentingan manusia. Modernisme ini betul-betul berkembang menjadi manusia sebagai Tuhan. Tuhan tidak lagi klaim para raja-raja. Tapi setiap orang boleh menjadi tuhan atas dirinya dan lingkungannya.
Di babak ketiga sejarah umat manusia ini, orang menemukan mesin dan cara berproduksi baru, yaitu industri. Basisnya ialah sains dan teknologi. Kemajuan dari hal ini, orang bisa membuat barang-barang pengganti buatan yang bukan hasil alam secara langsung. Di industri farmasi, orang menemukan bahan-bahan sintetis hasil rekayasa kimia, begitu juga dalam bidang-bidang kebutuhan lain.
Akibatnya, bahan-bahan alam kehilangan pamor dan memiliki alternatif lain dari bahan-bahan sintetis. Nusantara yang kaya akan bahan-bahan alam, akibat kemajuan teknologi, permintaan pasar akan farmasi dari rempah-rempah dan juga minyak atsiri, menjadi agak surut.
Babak keempat dari sejarah umat manusia di masa akan datang akan mengalami titik jenuh modernisme. Ketika negara-negara bekas terjajah Barat seperti Indonesia, dapat menguasai modernisme yang diwariskan Barat dengan keterampilan sains dan teknologinya, maka ada kemungkinan negara seperti itu akan mengembalikan kekuatan dan keunggulan komparatifnya seperti pada babak pertama sejarah, yaitu sebagai penghasil bahan-bahan alami untuk dipasarkan ke seluruh dunia.
Di titik ini, dunia akan mengalami hal yang pernah dilaluinya di masa lalu dengan gaya hidup akrab dengan hasil-hasil alam. Sayangnya, kekayaan hayati Indonesia saat ini telah mengalami pemusnahan yang hampir sempurna dengan merajalelanya monokultur yang difasilitasi oleh negara.
Padahal alam Indonesia, kaya sejak dahulu dengan bahan-bahan alami aromatik dan bahan-bahan alam untuk obat-obatan, penyedap dan parfum. Inilah sebenarnya hakikat kekayaan Nusantara.
Tetapi oleh negara-negara Barat modern, disulap menjadi farmasi hasil teknik kimiawi dan sintetis menggantikan bahan-bahan yang sangat bermutu tersebut bagi manusia.
Selain itu, hasil-hasil alam Indonesia juga kaya berupa bahan galian dan logam seperti emas, perak, besi, tembaga dan lain-lain. Ada satu lagi, satwa-satwanya yang bernilai komersial tinggi karena kelangkaan dan keindahannya serta kedayaguanaannya untuk bahan obat-obatan, juga merupakan kekaayaan tak ternilai. Belum lagi floranya yang beraneka ragam.
Semua itu, dihabisi secara sistematis dengan konversi hutan menjadi monokultur, mulai dari zaman tebu, kopi, teh, tembakau, karet hingga sawit saat ini. Ini semua adalah politik pertanian yang imbasnya memusnahkan sumber kekayaan alam nusantara. Dan yang bertanggung jawab dari semua ini ialah pemerintahan kolonial, hingga pemerintahan Indonesia sekarang yang berkolaborasi dengan investor lokal hingga investor asing.
Namun, potensi tetap tersedia, selama sistem musim dan iklim di nusantara tetap tidak berubah seperti di Eropa, masih memungkinkan kembalinya kekayaan flora dan fauna nusantara. Gajah, elang dan harimau Jawa yang sudah punah adalah kisah bagaimana suatu satwa yang menghuni pulau Jawa menghilang akibat kerakusan dan tangan manusia.
Kesimpulannya, jika Indonesia dapat seperti China dewasa ini yang menguasai sains dan teknologi dari Barat, ditunjang oleh kebijakan yang berorientasi keunggulan komparatif nusantara, maka babak berikutnya dari sejarah umat manusia muncul dari Nusantara. Dan Indonesia dapat dimungkinkan menjadi salah satu kiblat kemajuan umat manusia seperti yang kini sudah dinikmati oleh China.
Moral dari tulisan ini adalah kita tidak boleh sekadar latah tentang slogan Indonesia Emas 2045, tapi kita tidak tahu macam apa imajinasi emasnya.
Bhre Wira, seorang penulis independen, tapi partisan jika menyangkut agenda kebangkitan Nusantara.