Dari Jenewa, Komisi VII DPR: Indonesia Lamban Respon Bahaya Minamata

 Dari Jenewa, Komisi VII DPR: Indonesia Lamban Respon Bahaya Minamata

DELEGASI DPR UNTUK KONVENSI MINAMATA DI JENEWA

JENEWA – Anggota Komisi VII DPR RI Muktar Tompo mengatakan pemerintah lamban merespon dengan mengeluarkan regulasi terkait minamata. Padahal, konvensi Minamata mengenai Merkuri adalah fakta internasional yang didesain untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari emisi dan pelepasan antropogenik merkuri dan senyawa merkuri.

“Bagi saya, Indonesia lambat memberi respon pasca tahun 2013 karena hambatan regulasi dan juga pergolakan politik yang dinamis. Seyogyanya sejak 2013 kit amelakukan Ratifikasi sebagai jalan keluar atas berbagai peraturan yang mengikat supaya kita memiliki hak suara penuh dalam sidang dan juga atas konvensi perdagangan Dunia atas Merkuri,” papar politisi Hanura ini.

Menurut Tompo, merkuri dan senyawa merkuri telah diketahui memiliki dampak yang sangat berbahaya bagi manusia dan organisme lainnya. Krisis kesehatan masyarakat umum yang diakibatkan oleh keracunan merkuri, seperti penyakit Minamata dan penyakit Niigata Minamata, telah membawa masalah ini kepada Manusia.

“Itu mencuat pada tahun 1972 atas peristiwa yang diangkat oleh perwakilan dari Konferensi Stockholm yang fokus membahas isu lingkungan dan manusia. Mereka menyaksikan seorang siswa Jepang, Shinobu Sakamoto cacat akibat keracunan metilmerkuri sejak dalam kandungan,” ujar Tompo pada lintasparlemen.com langsung dari Jenewa, Senin (25/9/2017).

“Peristiwa ini yang menjadi sejarah terbentuknya United Nations Environment Programme (UNEP). Pada 20 Februari 2009, Konsul Pemerintahan yang ke – 25 UNEP menghasilkan keputusan untuk memulai langkah internasional dalam mengelola merkuri secara efektif, efisien, dan koheren. Komite Negosiasi Antar Pemerintah (INC) didirikan dan dipimpin oleh Fernando Lugris dari Uruguay dan didukung oleh Cabang Kimia dan Divisi Teknologi, Industri, dan Ekonomi UNEP,” sambungnya.

Sebagai informasi, INC telah mendirikan lima pertemuan untuk mendiskusikan dan menegosiasikan persetujuan global mengenai merkuri. INC I berlangsung pada tgl 7-11 Juni 2010 di Stockholm-Swedia, INC II 24-28 Januari 2011 di Chiba-Jepang, INC III 31 Oktober-4 November 2011 di Nairobi-Kenya, INC IV 27 Juni-2 Juli 2012 di Punta del Este-Uruguay, INC V 13-18 Januari 2013 di Geneva, Swiss.

Pada 19 Januari 2013, negosiasi menghasilkan 147 pemerintahan menyetujui draft teks konvensi. Konvensi diadopsi dan dibuka untuk ditanda tangani pada tanggal 10 Oktober 2013 di Kumamoto, Jepang, yang didahului oleh pertemuan pendahuluan pada tanggal 7-8 Oktober 2013. Ada 86 negara dan Uni Eropa telah menandatangani konvensi pada hari pertama tahun itu, Indonesia salah satunya.

Bangsa Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup menandatangani Konvensi Minamata 2013 yang merupakan upaya penanggulangan dampak merkuri sebagai pencemar global dan untuk tidak mengulangi tragedi kemanusian akibat pencemaran merkuri di Teluk Minamata, Jepang.

“Belajar dari tragedi pencemaran dari merkuri di Minamata, bangsa Indonesia menaruh perhatian yang sangat serius terhadap penggunaan merkuri di Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya lantang menyampaikan itu pd thn 2013 sejak Penandatanganan Konvensi Minamata dilakukan oleh delegasi dari 121 negara di Kumamoto, Jepang,” jelas Tompo.

Ratifikasi adalah proses adopsi perjanjian internasional atau konstitusi atau dokumen yang bersifat nasional lainnya (seperti amendemen terhadap konstitusi) melalui persetujuan dari tiap entitas kecil di dalam bagiannya. Proses ratifikasi konstitusi sering ditemukan pada negara federasi seperti Amerika Serikat atau konfederasi seperti Uni Eropa.

Pada pasal 2 Konvensi Wina 1969, ratifikasi didefinisikan sebagai tindakan internasional di mana suatu negara menyatakan kesediaannya atau melahirkan persetujuan untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Karena itu ratifikasi tidak berlaku surut, melainkan baru mengikat sejak penandatanganan.

“Oleh karenanya, patut saya apresiasi Ibu Siti Nurbaya sebagai Menteri LHK yang menyegerakan ratifikasi itu sebagai respon serius yang menentukan masa depan Manusia dan Lingkungan hidup. Ratifikasi konvensi Minamata mengatur tentang perdagangan produk merkuri dan prosesnya, pertambangan emas skala kecil, pengelolaan limbah merkuri, pendanaan penanggulangan dampak pencemaran merkuri dan transfer teknologi. Kenapa harus diseriusi ?? Karena Penyakit minamata menyerang sistem saraf yang tidak hanya menyebabkan penderitaan dan kematian korban, tetapi juga mewariskan dampak kepada anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan cacat. Penyakit Minamata itu dapat terjadi di mana saja, termasuk di Indonesia, khususnya akibat kecerobohan manusia,” paparnya.

Oleh karenanya, lanjut Tompo, Indonesia harus segera mengurangi bahkan menghilangkan penggunaan merkuri pada kegiatan industri, termasuk yang digunakan pada pertambangan emas skala kecil. Baginya, hal ini penting di antisipasi. Khususnya, sejak beberapa tahun terakhir, pertambangan emas skala kecil yang menggunakan merkuri semakin marak di Indonesia, seperti di Solok (Sumatera Barat), Pongkor (Jawa Barat), Sekotong (NTB), Katingan (Kalimantan Tengah), Pulau buru Maluku Utara, Palu, Mamuju dan hampir semua daerah yg memiliki potensi tambang emas di Indonesia.

Hari ini, ujarnya, sejak tanggal 24 – 29 September 2017 dilaksanakan konvensi Para Pihak (Conference of Parties/COP)-I Konvensi Minamata di Jenewa.

“Saya dan bbrapa teman ( Pak Hadi Mulyadi, Pak Agus, Pak Kurtubi ) adalah perwakilan DPR bersama kementerian KLHK, ESDM, kemenko Maritim dan kementerian Ekonomi yang hadir akan memberi respon positif dan memaksimalkan pengawasan. Indonesia resmi meratifikasi konvensi ini melalui UU Nomor 11/2017 tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury,” ungkapnya.

Penyerahan Depository International of Regulation (IoR) kepada Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa di New York, Amerika Serikat. ibu Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan bhw proses ratifikasi berjalan lancar saat diserahkan Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri kepada Under Secretary General for Legal Affairs/UN Legal Counsel, Miguel de Serpa Soares pada 22 September 2017 yg lalu.

Setelah resmi penyerahan depository IoR itu, terang Tompo, berarti Indonesia punya ruang aktif dan hak suara penuh dalam pengambilan keputusan pada forum regional dan global soal Konvensi Minamata. Termasuk dalam pengembangan prosedur, pedoman dan modalitas. Indonesia akan memiliki peluang besar memperoleh manfaat dalam mengakses sumber pendanaan, transfer teknologi, peningkatan kapasitas dan kerjasama internasional guna mendukung rencana aksi nasional penanganan merkuri. (HMS)

Facebook Comments Box