Demokrasi Tidak Niscaya Menjamin Perbaikan Kehidupan Kaum Miskin

Ilustrasi Kertas Suara pada pemilu
Beberapa pihak menganggap, demokrasi bagaikan ratu adil bagi suatu masyarakat terbelenggu kemiskinan. Nyatanya, demokrasi hanya bermanfaat secara langsung bagi tersedianya ajang kontestasi untuk orang-orang kuat dan kaya guna mencalonkan diri untuk menikmati jabatan-jabatan publik.
Banyak orang menganggap demokrasilah yang paling prioritas untuk diperjuangkan ketimbang memperbaiki kehidupan orang banyak yang terbelenggu kemiskinan dan kebodohan, sampai-sampai perjuangan menjaga demokrasi tersebut bagaikan perjuangan suci dan sakral bagi mereka. Tetapi padahal sejatinya demokrasi hanya sekedar memberikan ruang legal bagi orang-orang kaya dan kuat untuk menentukan nasib semua orang, yang pada realitanya yang bersangkutan tidak niscaya menyentuh perbaikan kehidupan kalangan yang paling membutuhkan, yaitu orang-orang miskin dan tidak berdaya secara politik.
Jadi demokrasi kadang-kadang bagaikan ajang perjudian hidup yang lebih langsung dinikmati mereka yang berpunya ketimbang mereka yang lemah dan miskin. Yang lemah dan miskin, hanya dapat menitipkan nasib pada calon-calon yang datang dari jauh mencalonkan diri atau kadang-kadang jika nasib baik, satu dua orang ada yang berasal dari representasi kelompok orang-orang miskin sendiri. Itupun jika yang terakhir ini berhasil duduk pada kekuasaan publiknya, tidak niscaya dapat menolong dengan drastis kehidupan kaum yang lemah itu, karena terbentur masa periodik dan juga lebih banyak mengurus dulu prioritas kepentingan pribadinya sendiri. Jadi bagaimana demokrasi dapat berguna secara langsung bagi orang-orang miskin dan lemah sebagai kelompok yang paling besar dalam suatu negara seperti Indonesia?
Walhasil realita hidup berbicara, yang hanya dapat mengangkat kehidupan kaum miskin dari lembah penderitaan panjang dan struktural, yaitu mereka sendiri, dan jika mampu dan kreatif, yaitu menghimpun diri dalam organisasi yang bekerja untuk perbaikan hidup mereka secara kolektif dan sadar.
Sayangnya di Indonesia, organisasi dari orang-orang miskin oleh orang-orang miskin untuk orang-orang miskin, tidak ada yang dapat menjelma sebagai kekuatan yang sebenarnya, baik dalam bentuk kooperasi maupun partai politik, yang terbukti mengangkat kehidupan orang-orang miskin dari lembah kehidupan yang suram dan tersandera kesusahan hidup.
Demokrasi sebagai syair yang terus dilantunkan dari abad ke abad, dari era ke era, selalu saja menjadi pepesan kosong bagi orang-orang miskin yang suaranya diburu dan diperebutkan. Tidak sepatutnya lagi, orang-orang miskin yang menggenggam puluhan juta suara itu, memandang suaranya sekedar sampah rumah tangga yang kemudian dipungut dan ditampung oleh para pemulung rongsokan.
Baiklah jika orang-orang miskin itu tetap memandang suara mereka hanyalah sekedar sampah rumah tangga, tentunya sampah-sampah rumah tangga itu lebih baik mereka kumpulkan sendiri, mereka simpan dalam gudang-gudang terjaga, sehingga jika tiba saatnya musim pemilu, sampah rumah tangga, maksudnya suara mereka yang terkumpul baik itu, konsesi dan konversinya harus terukur dan battlel proven bagi kebutuhan politik struktural hidup mereka.
Bagaimana, siapa yang sudi mengelola puluhan juta suara orang miskin di negeri ini? Jangan semudah para yayi, bos-bos, dan politisi menggadaikan suara kaum miskin untuk kepentingan diri mereka sendiri?
Mereka melonjak menjadi kuat dan kaya, sementara orang-orang miskin diternak dan beranak pinak sembari mewarisi penderitaan hidup mereka dari bapak-bapak mereka. Bapaknya miskin, anak juga tetap miskin. Tapi suara mereka dinikmati para politisi.
~Bhre Wira