Dengan Suap Bangunan Masjid, Aguan cs Netralisir Perlawanan Umat Islam?

m.
Pada tanggal 7 Maret 2025 yang lalu, penulis membentangkan perlunya kesadaran akan tanggungjawab umat Islam akan nasibnya di negeri ini di tengah ketidakberdayaan mereka secara ekonomi dan politik akibat dan konsekwensi pilihan mereka sendiri. Itulah sebabnya, umat Islam perlu merumuskan kembali tanggungjawab mereka terhadap nasib dirinya dan negerinya sendiri tanpa harus didikte oleh orang lain. Hal itu sedikit banyak jika pembaca ingin mengetahuinya lagi, silahkan googling karena tulisan itu sudah dipublikasi secara online melalui lintasparlemen.com dan suluhrakyat.com.
Namun salah satu segi tantangan kesadaran tanggungjawab umat Islam yang tampak demikian lemah atau tepatnya melemah di mata pihak lain, ialah tipisnya persatuan dan keterpaduan cara pandang dan orientasi kepentingan bersama sesama umat Islam. Beberapa pihak di kalangan umat Islam mungkin menyadari betapa lemahnya kekuatan politik dan ekonomi umat, tapi sebagian kalangan lagi sama sekali tidak memerlukan fakta tersebut bagi urusan dirinya, karena menurutnya mereka sudah sangat puas dengan apa yang mereka nikmati di negeri ini, yang ditandai dengan kebebasan beragama, banyaknya mesjid dan pesantren, kementerian agama yang selalu ada buat umat.
Misalnya baru-baru ini kejadian, saat sebagian masyarakat berjuang memprotes dan menyoroti dengan rasa muak terhadap perampasan tanah dan lahan di Banten oleh perusahaan Aguan cs dengan cara-cara ilegal (Kasus PIK2), sebagian kecil mengatasnamakan umat Islam justru membela Aguan cs. Ketika Aguan cs terpojok dan harus mengambil strategi manipulasi opini dan pura-pura begitu perhatian terhadap umat Islam dengan membuat acara peletakan batu pertama pembangunan masjid di lingkungan lahan pengembangan Pantai Indah Kapuk milik Aguan cs, terlihat hadir di sana Menteri Agama, Nasaruddin Umar, demikian mesra memberkati rencana mesjid itu, sekumpulan orang yang memenuhi tenda dengan kesan Islam, dan tentu saja hadir gerombolan buzzers yang sejak awal memposisikan diri pembela Aguan cs.
Demikianlah, akibatnya kesan mudahnya menyuap sebagian umat Islam dengan mesjid dan sembako serta panggung bagi elit umat, guna menetralisir perlawanan umat terhadap penindasan, demikian mudah dilakukan oleh orang lain. Umat demikian mudah ditaklukkan dengan cara belah bambu: ditarik satu belah, diinjak belah lainnya. Cara klasik ini selalu digunakan orang lain dalam menaklukkan dan menetralisir kebangkitan perlawan umat atas ketertindasan mereka. Selalu saja ada sebagian secara oportunis menyediakan diri sebagai simulasi belah bambu tanpa rasa salah dan kikuk sama sekali, malahan merasa benar dengan tindakan penghianatan semacam itu.
Sebenarnya, jika digali-gali akar teologis mengapa selalu ada saja pihak semacam itu di tubuh umat Islam yang akibatnya berkonsekwensi pecah barisan dalam tubuh umat Islam, hal ini memang sudah lama berlangsung. Tapi sebenarnya ialah akarnya oportunisme dan ketidaksanggupan subjektif untuk menerima konsekwensi suatu konflik. Saya tidak melihat hal ini sebagai akibat dari problem teologis. Kalaupun dikait-kaitkan dengan teologi dan mazhab berpikir, hal itu post factum saja dan dicari kemudian pembenaran teologisnya oleh mereka yang memilih oportunisme dan kenyamanan diri.
Demikianlah, akibatnya dalam persepsi orang lain, menundukkan dan menetralisir perlawanan umat Islam itu sangat gampang: cukup siapkan dan orbitkan sekelompok oportunis dan lemahkan sumber daya kekuatan umat Islam, terutama sumberdaya politik dan ekonomi. Maka semuanya gampang dipatahkan dan dicengkeram.