Din Syamsuddin di Jepang, Pimpin Sidang ACRP dan Diterima Parlemen Jepang
JAKARTA, Lintasparlemen.com – Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Din Syamsuddin sejak 25 Oktober 2016 lalu diterima Parlemen Jepang dalam serangkaian kegiatan di negara tirai bambu itu.
Pada kesempatan itu, Din menyampaikan bahwa kekerasan yang ekstrim merupakan ancaman peradaban dan musuh kemanusiaan yang harus dihadapi secara bersama-sama agar paham tersebut tidak berkembang
“Oleh karenanya, perlu didalami faktor-faktor apa saja penyebab kekerasan itu. Menurut saya terdapat beberapa faktor agama yang berasal dari pemahaman agama yang keliru, tapi ada juga faktor2 non agama semisal kesenjangan sosial, ekonomi dan politik. Bahkan ketidakadilan global merupakan akar tunjang kekerasan, baik atas nama agama maupun etnosetrisme,” jelas Ketua Dewan Pertimbangan MUI ini.
Menurut Din, kekerasan fisik seperti dalam bentuk terorisme ikut dipicu oleh kekerasan modal (capital violence) dan kekerasan negara (state violence). Bahkan, jika dua yang terakhir bersekutu dapat mendorong kekerasan oleh suatu kelompok sebagai perlawanan terhadap ketidakadilan.
Namun, sambungnya, apapun motifnya, kekerasan tidak dapat ditoleransi. Setiap warga negara harus menunjukkan sikap zero tolerance terhadap berbagai bentuk kekerasan, dan aksi penanggulangannya adalah tanggung jawab bersama.
Seperti diketahui, selain memimpin Sidang Dewan Pimpinan (Leadership Meeting) Asian Conference on Religions for Peace (ACRP), Din juga menjabat sebagai President-Moderator ACRP juga menjadi pembicara pada simposium tentang Countering Violent Extremism in the Name of Religion di Kyoto, Jepang 26 Oktober lalu.
Simposium yang diprakarsai WCRP/ACRP Jepang itu dihadiri oleh 300 tokoh berbagai agama di Jepang, akademisi dan pegiat perdamaian.
Di simposium itu, Din mengajukan langkah strategis untuk penanggulangan kekerasan termasuk terorisme yang diklaim pelakunya atas dasar keagamaan.
“Pada dimensi keagamaan, adalah tanggung jawab para pemuka agama untuk mengajukan counter narrative dengan mengedepankan wawasan keagamaan jalan tengah (wasathiyah), dan menegaskan bahwa tidak ada dasar pada agama bagi kekerasan, dan kekerasan itu adalah perbuatan anti agama,” papar Din.
“Sedangkan penanggulangan faktor-faktor non agama adalah tanggung jawab negara. Hal ini perlu dilakukan dengan menutup setiap celah yang dapat dirasakan dan digunakan oleh segelintir rakyat untuk melakukan kekerasan. Selama masih ada kemiskinan, kesenjangan, dan ketidakadilan, maka potensial ada perlawanan dalam bentuk kekerasan yang acap kali memakai agama sebagai faktor pembenar,” sambungnya.
Sebagai tambahan informasi, Din beberapa waktu lalu mendapat penghargaan dari Pemerintah Jepang (Foreign Minister’s Commendation), diundang Parlemen Jepang pada sebuah briefing atau hearing untuk menyampaikan pandangannya tentang peran agama dalam kebijakan luar negeri, hubungan Jepang dan Dunia Islam, dan strategi penanggulangan kekerasan ekstrim.
Hearing yang berlangsung di Gedung Parlemen Jepang itu diikuti belasan anggota Perlemen Jepang baik dari Partai Liberal Demokrat (LDP) yang berkuasa maupun partai oposan, Partai Demokrat.
Selama Din Syamsuddin memimpin Muhammadiyah terus menjalin hubungan erat dengan kedua partai itu. Bahkan, tokoh Partai Demokrat Jepang, Toshihiko Noda, yang pernah menjadi Perdana Menteri Jepang, pernah tiga kali berkunjung ke Kantor PP Muhammadiyah.
“Saya pernah diundang berbuka puasa di kediaman PM Noda di Tokyo. Selain dengan Parlemen, saya juga dijadwalkan diterima oleh Menlu Jepang,” terangnya seperti disampaikan pada redaksi Lintasparlemen. (HMS)