DPR: Skema Investasi di RUU Cipta Kerja Berpotensi Tabrak Konstitusi

 DPR: Skema Investasi di RUU Cipta Kerja Berpotensi Tabrak Konstitusi

JAKARTA – Langkah Pemerintah berusaha mengubah peraturan di berbagai Undang-Undang melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja Omni Bus Law (OBL) dikritisi Anggota Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi PKS, Amin Ak. Ia menilai, Bab X draft RUU Ciptaker tentang investasi pemerintah pusat dan kemudahan proyek strategis nasional itu berpotensi menabrak konstitusi.

Sedikitnya ada tiga masalah yang dikritisi Amin. Pertama, Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang akan dibentuk lewat RUU Ciptaker berpotensi menimbulkan banyak persoalan. Mulai dari bentuk kelembagaan, skema investasi yang dilakukan, penatausahaan aset-aset negara yang akan di investasikan, hingga status aset negara yang berubah menjadi milik lembaga.

Masih terkait LPI, Amin juga menyoroti kerjasama pembentukan perusahaan patungan, pembentukan entitas khusus dengan badan asing, ketentuan yang melarang pihak manapun (termasuk penegak hukum) untuk menyita aset lembaga, serta persoalan hilangnya status penyelenggara negara pada lembaga yang mengelola aset negara ini. Lebih krusial lagi, terdapat pasal yang menyebutkan bahwa pengurus dan pegawai lembaga tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan tugas dan kewenangannya.

“Pasal tersebut jelas-jelas membentengi pelaku tindak korupsi dengan dalih investasi dan alasan imunitas,” tegas wakil rakyat dari Dapil Jatim IV (Kabupaten Jember dan Lumajang) itu.

Persoalan kedua, tujuan dan skema investasi bertentangan dengan spirit Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia. Aroma Liberalisasi dalam proses investasi sangat kuat dalam pasal 146 ayat 1 RUU Ciptaker yang menyebutkan investasi pemerintah pusat hanya bertujuan untuk meningkatkan investasi dan penguatan perekonomian untuk mendukung kebijakan strategis penciptaan kerja.

“Ruh konstitusi dan semangat investasi demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat telah tercerabut dalam Bab X RUU Cipta Kerja ini,” kata Amin.

Investasi seharusnya bertujuan pada lima aspek yakni pertumbuhan ekonomi, pengentasasan kemiskinan, prioritas pengembangan Sumber Daya Manusia dan ekonomi padat karya, keadilan bagi pelaku usaha dan pekerja, serta berpihak kepada pemberdayaan UMKM untuk menciptakan lapang kerja.

Persoalan ketiga, terkait aspek kelembagaan juga menjadi poin penting untuk diperbaiki. Hampir seluruh pasal terkait LPI, memunculkan polemik dan kontradiktif dengan prinsip akuntabilitas dan equality before the law.

“Tidak adanya Dewan Pengawas yang mengontrol pengurus LPI serta ketentuan yang menghadang masuknya penegak hukum saat terjadinya kerugian negara, membuat lembaga ini tak tersentuh hukum, padahal KPK saja ada Dewan Pengawasanya,” kata Amin.

Belum lagi ketentuan yang mencoba mengambil alih peraturan pengelolaan negara dengan menyebutkan peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan keuangan negara/kekayaan negara/BUMN tidak berlaku untuk LPI. Berbagai pasal yang dapat menimbulkan hilangnya kekayaan negara dan tidak dapat dijerat dengan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, kata Amin, ini juga sangat membahayakan dan berpotensi menimbulkan moral hazard.

“Jadi UU Ciptaker ini sebetulnya untuk kepentingan siapa?,” tanya Amin. (Ali)

Facebook Comments Box