Evaluasi Pilkada dan Solusinya
Oleh : Ubedilah Badrun*
Pilkada langsung telah bergulir sejak 2007. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.
Selama 2007-2014 Pilkada langsung digelar terpisah antardaerah. Pelaksanaan serentak baru terjadi tiga kali, yakni pada 2015, 2017, dan 2018. Pada 2014, DPR RI sempat memutuskan pilkada kembali ke format lama, yakni pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD. Namun, keputusan sidang paripurna DPR RI itu batal setelah Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati. Perppu tersebut dibuat karena meluasnya pemberitaan protes masyarakat yang diasumsikan masih menghendaki pilkada langsung.
Jumat 6 April 2018 lalu pemerintah (Mendagri) dan DPR (Ketua DPR) sependapat terkait upaya untuk melakukan evaluasi terhadap pilkada langsung. Ketua DPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) bahkan mengatakan hasil evaluasi sementara lembaganya menunjukkan banyak masalah yang muncul (hal negatif) akibat pelaksanaan pilkada langsung.
Temuan itu membuat wacana revisi bentuk pilkada mencuat lagi. Keinginan pemerintah dan DPR tersebut tentu memunculkan kembali polemik antara Pilkada langsung dan Pilkada tidak langsung.
Kelebihan dan Kekurangan Dua Model Pilkada
Kedua model pemilihan tersebut (langsung & tidak langsung) memiliki kelebihan dan kekuranganya masing-masing. Kelebihan pilkada tidak langsung diantaranya adalah biaya politik murah, politik uang tidak meluas sampai ke basis masyarakat dan rakyat tidak mengalami pembelahan ekstrim secara sosial maupun politik.
Kelemahan pilkada tidak langsung diantaranya adalah calon kepala daerah tidak dikenal oleh rakyatnya, politik uang terjadi di lapis elit daerah, dan rakyat tidak dilibatkan dalam menentukan pemimpinya sendiri atau kurang demokratis.
Sementara kelebihan pilkada langsung diantaranya adalah rakyat terlibat secara langsung untuk menentukan kepala daerahnya sendiri sehingga lebih demokratis, kepala daerah juga lebih dikenal dan lebih dekat dengan rakyat, aspirasi rakyat bisa langsung disampaikan saat kampanye atau sebelum seseorang menjadi kepala daerah, gagasan atau program kepala daerah bisa langsung didengar rakyat sebelum menjadi kepala daerah.
Sedangkan kekurangan pilkada langsung diantaranya adalah politik uang tidak hanya terjadi dilapis elit tetapi juga terjadi di lapis masyarakat bawah, pembelahan sosial terjadi sehingga tidak sedikit terjadi konflik diantara rakyat, biaya politik juga sangat mahal.
Contohnya, biaya politik mahal ini bisa dicermati misalnya pada biaya pilkada 2018 yang mencapai angka Rp.15.2 Triliun yang berasal dari sumber APBN dan APBD (Kemendagri,2018). Sementara biaya politik dari sang calon kepala daerah yang jumlahnya 117 daerah untuk pilkada 2018 angkanya bisa mencapai Rp. 11,7 Trliun (Puspol Indonesia, 2018).
Sebagai catatan evaluasi, pada tahun 2015 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan kajian penting terkait pilkada langsung. Kajian tersebut dilakukan melalui sebuah survei terpercaya terhadap bekas calon kepala daerah. Diantara temuan KPK tersebut adalah 51.4% calon kepala daerah mengeluarkan dana kampanye melebihi harta kas mereka, 16.1% mengeluarkan dana kampanye melebihi total harta yang mereka cantumkan dalam LHKPN, 56.3% mengatakan donatur kampanye mengharap balasan saat calon kepala daerah terpilih, 75.8% calon kepala daerah mengatakan akan mengabulkan harapan donatur, 65.7% menyatakan bahwa donatur menghendaki kemudahan perizinan usaha dari calon kepala daerah jika terpilih (sumber: KPK,2015).
Temuan KPK tersebut menggambarkan dengan jelas betapa korupsi sistemik memang menjadi pola yang dimulai sejak awal proses pilkada langsung dilaksanakan. Fakta mahar politik dan OTT tujuh calon kepala daerah dlm dua bulan ini juga meyakinkan analisis bahwa sistem pilkada langsung turut mendorong terjadinya praktek korupsi sistemik sejak awal.
Ini Solusinya
Lalu bagaimana solusinya? Setidaknya ada tiga pola solusi yang mungkin bisa dijadikan agenda DPR maupun Kemendagri. Pertama, pola pilkada tidak langsung yang diperbaharui. Kedua, pola pilkada langsung yang diperbaharui. Ketiga, pola campuran.
Pola Pilkada tidak langsung (melalui DPRD) yang diperbarui maksudnya adalah bukan seperti pilkada atau pemilihan kepala daerah di DPRD seperti zaman Orde Baru yang tidak dikenal publik prosesnya. Tetapi pilkada tidak langsung yang membuka ruang keterlibatan publik.
Ini dapat dilakukan melalui dua hal sebelum pemilihan oleh DPRD, yaitu ada uji publik terhadap calon kepala daerah setelah pendaftaran calon ke panitia pemilihan di DPRD. Uji publik ini berupa pengumuman calon-calon kepala daerah kepada publik agar publik memberikan penilaian atau keberatan yang berbasis data atau bukti tertentu.
Jika protes publik kemudian menunjukan data negatif atau ketidaklayakan calon, maka panitia pemilihan di DPRD dapat memberi kesempatan kepada fraksi pengusungnya di DPRD untuk mencari calon lainya dalam waktu yang tidak lama sesuai jadwal yang ditetapkan.
Selain uji publik, juga keterlibatan publik bisa dilakukan melalui debat calon kepala daerah didepan majelis sidang DPRD yang dihadiri dan ditonton masyarakat luas melalui media televisi. Setelah masa tenang baru sidang paripurna DPRD dilakukan untuk memilih kepala daerah. Untuk menghindari praktek money politik anggota DPRD saat pemilihan kepala daerah, perlu melibatkan KPK dan PPATK dalam pengawasan sepanjang masa pilkada berlangsung.
Pola Pilkada langsung yang diperbarui maksudnya adalah pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat tetapi sejumlah hal dan aturan yang selama ini menimbulkan masalah dalam pilkada langsung harus diperbaiki. Sejumlah masalah yang harus diperbaiki tersebut antara lain soal Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang bermasalah, soal sistem pemilu yang sangat kontestatif liberalistik (sistem pemilu proporsional dengan daftar stelsel terbuka maupun sistem distrik yang sangat kontestatif liberalistik).
Mekanisme pencalonan yang harus mendapat surat dukungan dan persetujuan pencalonan dari pengurus Pusat Partai Politik yang membuka celah adanya ‘mahar politik’, angka 20% Threshold untuk dukungan terhadap calon kepala daerah telah membatasi hak politik untuk dipilih sehingga muncul calon kepala daerah yang tidak beragam padahal cukup dengan menaikan angka parliamentary threshold 6 sampai 8 % semua partai yang lolos threshold bisa mengusung calon kepala daerahnya.
Ini akan membuka peluang beragamnya alternatif calon kepala daerah. Hal lainya yang perlu diperbaiki adalah model kampanye politiknya harus sudah bergeser ke kontestasi gagasan dan berbasis digital sehingga lebih murah.
Sementara, pola campuran menggunakan cara berfikir para pendiri bangsa ini yaitu menggunakan pola campuran antara model demokrasi langsung dan model demokrasi tidak langsung. Indonesia tidak harus secara kaku memilih satu diantara model pilkada langsung atau tidak langsung, tetapi untuk mengeleminir berbagai kelemahan yang dijelaskan diatas, pemilihan kepala daerah dapat menggunakan model campuran dalam satu wilayah.
Misalnya untuk pemilihan Gubernur dilaksanakan secara langsung, sementara pemilihan wali kota atau bupati bisa dipilih oleh DPRD atau diangkat langsung oleh Gubernur sebagaimana terjadi di DKI Jakarta saat ini dimana ada lima wali kota yang tidak dipilih oleh rakyat dan satu bupati tidak dipilih oleh rakyat.
Satu dari tiga pola pilihan pilkada tersebut hanya mungkin dapat dilaksanakan jika DPR dan pemerintah serius berniat melakukan perbaikan, masyarakat juga harus dilibatkan dalam proses perubahan tersebut. Dalam seluruh proses perbaikan tersebut tentu ada kemungkinan memerlukan perubahan mendasar atau amandemen terhadap UUD 1945 terkait pemerintahan daerah dan pemilihan umum, termasuk perubahan terhadap undang-undang pemerintah daerah dan undang-undang pilkada.
Lebih dari itu, upaya perubahan sistem pilkada ini harus dibangun dengan kesadaran untuk kepentingan rakyat banyak dan sebagai upaya menterjemahkan Pancasila dalam praktek demokrasi kita yang spiritnya kolektivisme bukan individualisme.
Ubedilah Badrun Analis sosial politik UNJ