Fadli Zon: Kasus Rohingya Membuktikan Kecilnya Peran ASEAN Dan AIPA
MANILA – Terus ditolaknya resolusi kemanusiaan terkait isu Rohingya oleh delegasi parlemen Myanmar membuat ketua delegasi parlemen Indonesia Fadli Zon akhirnya meminta agar Presiden AIPA Pantaleon Alvarez meniadakan seluruh perbincangan terkait isu politik dalam Sidang Umum AIPA ke-38 di Manila, Filipina, kali ini.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu juga mengkritik kecilnya peran ASEAN dan AIPA dalam penyelesaian konflik dan masalah kemanusiaan di Myanmar.
“Kami kecewa dengan sikap delegasi parlemen Myanmar. Sikap tertutup mereka telah menjadi ‘stumbling block’ (batu sandungan) dalam sidang AIPA. Itu sebabnya kami meminta agar tidak ada pembicaraan mengenai isu politik apapun dalam sidang AIPA kali ini jika tidak menyertakan pembicaraan mengenai resolusi kemanusiaan atas Rohingya,” kata Fadli.
“Ini adalah sikap delegasi parlemen Indonesia. Jadi pada Sidang AIPA kali ini tak ada pembicaraan isu-isu bidang politik kecuali sesuai atas permintaan Indonesia harus memasukkan agenda krisis kemanusiaan Rohingya,” sambungnya.
“Bagi kami, isu kemanusiaan ini sangat krusial dan fundamental, karena menyangkut nilai yang bersifat universal. Bagaimana bisa kita meneruskan perbincangan tentang isu-isu politik lain, sementara isu kemanusiaan ini kita tinggalkan?! Jadi, kita menunggu Myanmar untuk membuka diri dulu sebelum meneruskan perbincangan mengenai isu-isu politik lain.”
“Untuk menghormati tuan rumah Filipina, yang telah melayani dan menjadi moderator yang baik dalam pertemuan kali ini, kami menyatakan tidak keberatan untuk meneruskan agenda perbincangan dalam bidang-bidang lainnya, seperti ekonomi, sosial dan organisasi. Tapi khusus untuk bidang politik, sikap kami tegas, tidak boleh ada pembicaraan apapun sampai delegasi Myanmar mau membahas isu kemanusiaan tadi.”
“Proses pengambilan keputusan dalam sidang AIPA memang menggunakan sistem konsensus. Sehingga, jika ada satu negara keberatan terhadap sebuah topik atau isu, maka topik atau isu tadi harus di-drop dari agenda, karena tidak terjadi konsensus. Indonesia memandang aturan semacam ini ke depannya perlu ditinjau kembali, karena memiliki lubang besar. Akibat penolakan delegasi parlemen Myanmar atas proposal kemanusiaan Indonesia, sidang AIPA ini hampir deadlock.”
“Dari sisi organisasi sebenarnya ini adalah preseden bagus. Negara-negara anggota AIPA jadi menyadari kelemahan sistem tersebut. Ke depan saya kira AIPA perlu melakukan reformasi dan amandemen statuta. Agar jangan sampai terjadi lagi isu yang krusial seperti kemanusiaan, misalnya, dihambat oleh prosedur organisasi.”
“Indonesia ingin mengingatkan jika ASEAN dan AIPA seharusnya tidak menjadi organisasi arisan semata. Asia Tenggara tak akan maju jika organisasi regionalnya tidak mereformasi diri dan mengambil peran yang lebih responsif. Kecilnya peran ASEAN dan AIPA dalam penyelesaian tragedi kemanusiaan yang terjadi di Myanmar mencerminkan ketertinggalan itu. (Bani)