Fadli Zon: Ketimpangan Adalah Sumber Radikalisme dan Konflik Horisontal

 Fadli Zon: Ketimpangan Adalah Sumber Radikalisme dan Konflik Horisontal

PELUNCURAN BUKU ‘SOUL YOES RIZAL karya Fadli Zon & Astri Wright.

JAMBI– WAKIL Ketua DPR RI, Dr. Fadli Zon, S.S., M.Sc menjadi pembicara Orasi Ilmiah dalam rangka Wisuda ke-77 Program Doktor, Magister, Profesi, Sarjana, dan Diploma Universitas Jambi Semester Ganjil Tahun Akademik 2017/2018 di Balairung Universitas Jambi, Sabtu, (12/8/2017).

Dalam orasi ilmiah tersebut, Fadli Zon membahas mengenai persoalan ketimpangan ekonomi dan demokrasi di Indonesia. Hal itu bisa menjadi pemicu disintegrasi bangsa  dari berbagaian sosial ekonomi di Indonesia.

Kegiatan Orasi Ilmiah ini dihadiri oleh Rektor Universitas Jambi (UNJA), Prof. Johni Najwan, S.H., M.H., Ph.D. beserta jajaran wakil rektor; Pimpinan Komisi X DPR RI, Sutan Adil Hendra serta ribuan wisudawawan dan wisudawati Universitas Jambi.

Saat membuka Orasi Ilmiah dalam kesempatan itu, Fadli membahas terkait konflik horisontal yang belakangan marak terjadi di tengah masyarakat. Fadl, menilai merenggangnya kohesi sosial dan munculnya ketegangan di tengah-tengah masyarakat tidak hanya diakibatkan oleh sentimen SARA, tetapi karena persoalan ketimpangan.

“Merenggangnya kohesi sosial—yang kemudian meletup ke permukaan seolah sebagai bentuk ketegangan dan gesekan sosial berbasis SARAyang selama ini terjadi sebenarnya selalu berlangsung pada kondisi struktural tertentu yang sama sekali tak bersifat SARA,” ungkap Fadli.

“Struktur yang telah dan selalu membuat gesekan itu muncul selama ini, dalam catatan saya, tak lain adalah ketidakadilan sosial. Jika struktur ekonomi-politik mulai dan makin tidak adil, maka pada saat itulah gesekan sosial terjadi dan kohesi sosial mulai melonggar,” sambungnya.

Menurutnya, ketimpangan ini sama sekali tidak boleh diabaikan. Pasar bebas dan demokrasi yang hanya dikuasai oleh sekelompok kecil masyarakat sangat rentan melahirkan konflik dan instabilitas. Inilah sebenarnya yang menjadi ancaman terbesar kebhinekaan kita.

“Problemnya, pemerintahan saat ini terus-menerus fokus pada pembangunan infrastruktur yang tidak punya implikasi jangka pendek bagi kehidupan ekonomi rakyat, dan mengabaikan hadirnya problem ketimpangan ini,” ujar Fadli yang menjabat Wakil Ketua Umum Gerindra ini.

Ia menilai mencuatnya masalah ketimpangan dalam beberapa tahun terakhir seharusnya membuat kita meninjau kembali corak pembangunan yang selama ini berlangsung. Ke depan, corak pembangunan harus semakin inklusif. Untuk menciptakan pembangunan inklusif tersebut, persis di situ terletak urgensi gagasan Demokrasi Ekonomi.

Setidaknya, lanjutnya, ada tiga prinsip yang membuat kenapa gagasan Demokrasi Ekonomi kita butuhkan, yaitu prinsip keadilan sosial, prinsip partisipasi, dan prinsip intervensi.

“Pemerintah tidak boleh membiarkan distribusi kesejahteraan diatur oleh mekanisme pasar. Pemerintah harus terlibat aktif dalam membentuk struktur perekonomian yang adil melalui sejumlah intervensi struktural,” terang Fadli.

Fadli juga mengingatkan agar ke depan Pemerintah lebih fokus melakukan kegiatan pembangunan yang berhubungan dengan sektor pertanian dan perdesaan, tempat di mana sebagian besar masyarakat kita menggantungkan hidupnya.

“Bagi negara agraris seperti Indonesia, mengatasi ketimpangan desa-kota memang berimplikasi serius. Daya dorongnya bagi perekonomian nasional sangat besar. Inilah yang akan jadi perekat demokrasi dan kebangsaan kita,” bebernya.

Di bagian akhir orasi ilmiah, Fadli Zon memberikan pesan khusus kepada para wisudawan/wisudawati, terutama mereka yang baru lulus diploma dan sarjana.

“Jika Andaingin ikut mengatasi ketimpangan, atau menjaga Pancasila dan kebhinekaan kita, maka selepas belajar dari Universitas Jambi ini, jangan hanya jadi sarjana pemburu kerja, tapi jadilah wirausahawan” pesan Fadli Zon.

Pahamilah bahwa perekonomian mayoritas rakyat Indonesia saat ini ditopang oleh usaha kecil dan mikro, atau yang dulu oleh Bung Hatta disebut sebagai ”ekonomi rakyat”.

“Itu sebabnya sangat ironis jika perguruan tinggi kita hanya bisa menghasilkan tenaga-tenaga profesional yang hanya bisa bekerja di perusahaan-perusahaan besar atau asing, dan sangat jauh dari realitas ekonomi rakyat,” pungkasnya. (BANI)

 

Facebook Comments Box