Fenomena Kotak Kosong, Firman: Itu karena Adanya Kekosongan Hukum
JAKARTA – Anggota Komisi II DPR Firman Soebagyo menilai munculnya fenomena kotak kosong di Pilkada Serentak beberapa tahun terakhir ini termasuk tahun 2018 ini disebabkan oleh adanya kekosongan hukum. Bagi Firman, calon tunggal vs kotak kosong belum ada regulasi yang mengaturnya secara jelas.
“Masalah ini karena belum ada aturan jelas. Sehingga persoalan ini menjadi pembelajaran bagi parpol untuk berhati-hati saat bikin regulasinya mengenai kotak kosong ini,” kata Firman di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (02/7/2018).
Politisi Senior Golkar ini menjelaskan, fenomena kotak kosong tidak akan berdampak pada situasi keamanan. Selama ini, kotak kosong lawan calon tunggal tidak terjadi gesekan yang cukup signifikan.
“Dan ini juga ada kekosongan hukum yang tidak diatur regulasi dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Sehingga kalau KPU melarang maka bertentangan dengan UU karena itu kotak kosong merupakan bagian dari proses demokrasi yang ada di Indonesia,” jelasnya.
“Akhirnya calon tunggal seperti di Kota Makassar (Sulsel) dikalahkan oleh kotak kosong. Karena calon tunggal itu bukan representasi pilihan rakyat, tapi calon tunggal ini representasi dari pilihan parpol. Biasanya parpol itu bisa menkondisikan oleh calon yang kuat karena ada proses politik untuk rekomendasi dengan transaksional. Ini yang bahaya dan ini bertentangan dengan kehendak rakyat di sejumlah daerah,” sambung Firman
Ketum Ikatan Keluarga Kabupaten Pati (IKKP) mencontohkan Pilkada Kabupaten Pati 2017 lalu, di suara pemilih kotak kosong (kolom kosong), mampu unggul di sebagian TPS di kabupaten dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Firman menceritakan, meski pasangan Haryanto-Saiful Arifin memenangi pemilihan tanpa lawan ini dengan meraup 74,52 persen suara sah, atau 519.688 pemilih. Namun, kota kosong memberi perlawanan secara signifikan dengan jumlah pemilih mencapai 25,48 persen, yakni 177.682 suara.
Kala itu, suara sah di Pilkada Pati 2017 sebanyak 696.310. Sehingga ada 15.195 suara tak sah. Di mana dari jumlah DPT 1.035.663 orang, hanya 711.402 orang menggunakan hak pilihnya. Mereka yang tak mencoblos, 324.261 pemilih. Tingkat partisipasi di pilkada paslon tunggal ini, 68,7 persen. Sebanyak 31,3 persen pemilih tak mencoblos.
“Kotak kosong ini pembelajaranlah, karena kami sendiri sadar bahwa yang namanya kotak kosong jangan dianggap sepele dan terbukti bahwa kotak kosong menang. Jangan dikatakan aman-aman meski ada kotak kosong. Terbukti di Pati, kotak kosong massif. Dan calon-calon lain tidak masuk karena tidak punya mahar. “Ini persoalan serius mengenai money politic,” pungkas Firman. (HMS)