Fikri Faqih Gali Aspirasi di Brebes: Ekonomi Kerakyatan ala Hatta Sesuai Amanat Konstitusi

 Fikri Faqih Gali Aspirasi di Brebes: Ekonomi Kerakyatan ala Hatta Sesuai Amanat Konstitusi

BREBES – Puluhan warga dari berbagai kalangan di Kabupaten Brebes menyampaikan aspirasinya dalam kegiatan bertajuk ‘ASPIRASI MASYARAKAT’ yang dihadiri Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Dr. H. Abdul Fikri Faqih, M.M.

Dalam pertemuan yang digelar di Aula SDIT Harapan Ummat Brebes, Senin (21/4/2025) lalu, Fikri Faqih banyak mengupas prinsip dasar ekonomi bangsa yang diamanatkan konstitusi, merujuk pada pemikiran Bung Hatta.

Kegiatan serap aspirasi ini diharapkan dapat menjadi masukan berharga dalam memperjuangkan kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada kemandirian bangsa dan kesejahteraan rakyat sesuai amanat konstitusi.

Fikri Faqih mengawali paparannya dengan mengingatkan kembali konsep Proklamator Mohammad Hatta mengenai urutan sumber pembiayaan pembangunan nasional.

“Bung Hatta secara jelas menempatkan modal nasional dari dalam negeri sebagai prioritas pertama, diikuti pinjaman luar negeri, dan terakhir penanaman modal asing,”ungkap Fikri.

Menurutnya, prioritas ini selaras dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menghendaki perekonomian disusun berdasarkan asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.

“Ekonomi kerakyatan yang diamanatkan konstitusi bukan sekadar memberdayakan usaha mikro atau kaki lima, tetapi lebih fundamental, yaitu memastikan keterlibatan rakyat secara luas dalam proses produksi ekonomi nasional,” tegasnya.

Lebih lanjut, Fikri menambahkan bahwa konsep ini merupakan koreksi atas struktur ekonomi kolonial yang eksploitatif.

Mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, Fikri menekankan prinsip bahwa cabang produksi penting dikuasai negara dan sumber daya alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Kendati demikian, ia menjelaskan bahwa Hatta tidak menolak modal asing sama sekali, yang menunjukkan sistem ekonomi Indonesia bersifat terbuka.

“Namun, Hatta memberikan syarat yang sangat ketat agar perekonomian kita tidak menjadi subordinasi asing,” jelas Fikri.

Syarat tersebut antara lain, negara pemberi pinjaman tidak boleh mencampuri urusan dalam negeri, bunga utang luar negeri rendah (di bawah 3,5% menurut Hatta), jangka waktu pinjaman panjang, serta menolak konsep turn-key project dalam investasi asing agar terjadi transfer keahlian kepada bangsa Indonesia.

“Investasi yang dilakukan harus berorientasi pada ketahanan nasional dan penciptaan lapangan kerja seluas-luasnya bagi rakyat,” ujarnya.

Fikri juga mendorong penerapan model pembangunan people-first atau 4P (Public-Private-People Partnership), yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat, berbeda dengan model 3P (Public-Private Partnership) yang seringkali mengabaikan ‘people’.

“Rakyat harus dilibatkan melalui tiga pintu: co-ownership (ikut memiliki), co-determination (ikut menentukan proses), dan co-responsibility (ikut bertanggung jawab menjaga keberlangsungan),” papar Fikri mengutip pemikiran Prof. Sri Edi Swasono.

Menurutnya, inilah hakikat ekonomi kerakyatan yang dirancang pendiri bangsa, yang mengutamakan pemerataan sebelum pertumbuhan (redistribution with growth), bukan sekadar menunggu efek menetes ke bawah (redistribution from growth) seperti dalam mazhab ekonomi liberal.

Facebook Comments Box