Firman Soebagyo : Bangun Reklamasi Tak Bisa Hilangkan Hak Rakyat
JAKARTA, Lintasparlemen.com – Reklamasi adalah merupakan proses pembuatan daratan baru dari dasar laut atau dasar sungai. Sedangkan tanah yang direklamasi disebut tanah reklamasi atau landfill.
Akhir-akhir ini reklamasi menjadi pembicara publik Indonesia setelah beberapa waktu lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ketua Komisi D DPRD Provinsi DKI Jakarta M Sanusi terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Kamis (31/3) malam.
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) DKI Jakarta menilai OTT KPK itu terhadap Ketua Fraksi Gerindra DPRD DKI itu menjadi momentum penegakan hukum dan penghentian total reklamasi Teluk Jakarta.
Selanjutnya, bagaimana pendapat DPR RI yang melihat permasalah tersebut sehubungan regulasi yang ada. Alasan itu, Lintas Parlemen.com berhasil mewancarai Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Firman Soebagyo di ruang kerjanya di Nusantara I Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta (Kamis, 07/04) kemarin.
Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI mengatakan, pembangunan pada dasarnya dibolehkan alias halal. Disebut haram atau tak dibolehkan membangun reklamasi bila ada aturan yang dilanggar. Khususnya reklamasi itu mengganggu aktivitas pelaut yang selama ini menggantungkan hidupnya di sector kelautan itu.
“Reklamasi itu bukanlah sesuatu yang haram. Tetapi reklamasi itu harus mengacu kepada aturan yang ada dan tidak mengganggu aktivitas para masyarakat yang sudah eksisting di sana (pesisir, red),” ujar Sekjen Soksi ini.
Berikut ini hasil wawancara Ketua Umum Ikatan Keluarga Kabupaten Pati (IKKP), Firman Soebagyo:
Bila dijelaskan dari kacamata legislasi terkait pengaturan reklamasi di Indonesia?
Reklamasi ini merupakan suatu kegiatan yang dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kalau konteksnya potensi sumber daya alam, itu bisa dikelola untuk pembangunan yang tujuannya adalah untuk meningkatkan sebesar-besarnya kemampuan bagi masyarakat. Apapun yang terkait dengan reklamasi sebenarnya tidak ada sesuatu larangan. Namun reklamasi itu harus dijalankan dengan aturan yang ada.
Pembangunan reklamasi di Indonesia sudah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Di dalam undang-undang itu sendiri ada aturan-aturan yang mengatur bahwa ketika reklamasi itu dilakukan—mulai dari tata ruang untuk menentukan koordinat dan titik lokasi yang akan dilakukan reklamasi itu—harus ada kesepakatan-kesepakatan yang dicapai antara pemerintah daerah. Termasuk juga pemohon dan masyarakat yang tinggal serta hidup tergantung di sekitar sana. Karena pada dasarnya reklamasi itu dilaksanakan tidak boleh mengganggu aktivitas masyarakat yang sudah eksisting di sana, seperti nelayan yang memang sudah mengadu nasibnya di pesisir pantai.
Bagaimana Anda melihat regulasi reklamasi di DKI Jakarta?
Reklamasi itu bukanlah sesuatu yang haram. Tetapi reklamasi itu harus mengacu kepada aturan yang ada. Reklamasi yang ada di DKI ini apakah sudah mengacu kepada aturan-aturan atau tidak? Konon yang saya dengar dan baca dari media bahwa pembelah daerah itu tidak mengeluarkan izin sebelum kesepakatan-kesepakatan itu.
Kalau itu terjadi, berarti melanggar peraturan perundang-undangan. Kemarin juga media bertanya tentang masalah mengenai kaitan masalah tangkap tangan. Di mana posisi pemerintah daerah dan DPRD yang saling menghindar terhadap persolan perda reklamasi ini.
Saya katakan yang namanya perda reklamasi ini bisa diajukan Pemda bisa juga menjadi inisiatif DPRD. Namun yang jelas perda itu akan selesai kalau Pemda bersama DPRD menyetujuinya. DPRD atau Pemda tidak boleh lempar batu sembunyi tangan. Tidak boleh seolah-olah Perda yang salah atau sebaliknya. Perda itu disusun bersama-sama dengan pemerintah. Lahirnya Perda tentang reklamasi, itu adalah menjadi tanggung jawab bersama.
Seharusnya seperti apa mekanismem pengelolaan reklamasi di sejumlah daerah?
Dalam ketentuan undang-undang itu bahwa untuk reklamasi harus mendapatkan izin. Izin itu ada dari pemerintah daerah dan ada juga dari pemerintah pusat. Perda itu adalah aturan hukum dari konsekuensi undang-undang itu sendiri. Perda itu adalah aturan turunan implementasi wilayah undang-undang desa bersih.
Prosesnya rekomendasi ada dari pemerintah daerah dan pengajuannya ada di pemerintah daerah. Kalau kita lihat hierarkinya kan ada undang-undang. Peraturan pemerintah, peraturan menteri kemudian peraturan daerah. Peraturan daerah itu akan mengatur tata laksananya, tetapi peraturan daerah dan peraturan pemerintah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang di atasnya.
Bagaimana Anda melihat dari sudut sumber daya alam di pesisir pantai di seluruh Indonesia?
Sumber daya alam ini bisa dikelola dari aspek ekonomi, tetapi tetap memperhatikan ketetapan yang ada di undang-undang. Di mana tidak boleh merusak lingkungan, tidak boleh mengabaikan hak-hak masyarakat yang sudah eksisting di sana. Kalau itu tidak dilakukan berarti ada pelanggaran terhadap undang-undang.
(Janah dan Mahabbahtaein)