Firman Soebagyo: Dewan Pengawas KPK Dikontrol DPR dan Presiden

 Firman Soebagyo: Dewan Pengawas KPK Dikontrol DPR dan Presiden

JAKARTA, LintasParlemen.ComSembilan fraksi dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) DPRkompak menyetujui revisi Undang-Undang (UU) KPK dilanjutkan ke tahap penetapan paripurna. Hanya Fraksi Gerindra yang menolak.

Di luar parlemen, gelombang protes terhadap revisi UU KPK pun besar. Petisi online bertajuk: Jangan Bunuh KPK, Hentikan Revisi UU KPK sudah menem­bus 57 ribu lebih tanda tangan hingga Rabu (10/2) kemarin.

Dari empat poin revisi yang diajukan pemerintah, pem­batasan penyadapan oleh KPK yang sebelumnya diwacanakan harus melalui izin pengadilan paling banyak menuai protes. Tapi belakangan opsi yang me­wajibkan KPK mendapatkan izin pengadilan sebelum menyadap, berubah menjadi harus sepenge­tahuan Dewan Pengawas KPK yang akan dibentuk dalam revisi UU KPK. Ketua Panja Revisi UU KPK Firman Soebagyo memaparkan perkembangan rencana revisi UU KPK itu ke­pada Rakyat Merdeka;

Revisi pada poin penyada­pan yang harus sepengetahuan Dewan Pengawas bukankah itu bisa melemahkan KPK?
Ya dilihat dari pemahaman mana dan dari sudut pandang mana kita melihat. Karena sela­ma ini unsur subjektifitas masih ada. Oleh karena itu ditegaskan oleh para pakar yang membidani lahirnya Undang-Undang KPK bahwa penyadapan itu sebai­knya diatur. Siapa yang melaku­kan penyadapan itu juga tidak menjadi hal-hal yang tingkat subjektifitasnya tinggi. Karena selama ini kan kinerja KPK juga dipantau oleh semua pihak.

Mungkin pandangan teman-teman LSM berbeda dengan pandangan para pakar. Karena pakar itu yang lebih tahu terh­adap masalah apa yang sesung­guhnya dilakukan KPK selama ini. Karena yang mendesain dan membidani lahirnya KPK adalah pakar-pakar itu. Maka itu ada beberapa pasal yang kita adopsi dari pendapat itu dan kita masukkan dalam empat poin itu. Perdebatannya sudah panjanglah dan nggak perlu dikhawatirkan lagi.

Bagaimana memastikan in­dependensi Dewan Pengawas, bisa terbebas dari intervensi dan konflik kepentingan?
Ya pertanyaan seperti itu tanya sama Tuhan. Ya sekarang siapa yang percaya dengan war­tawan, siapa yang percaya pada DPR, DPR itu dipercaya oleh rakyat, tapi wartawan nggak percaya juga kan. Sama aja. Tapi setidaknya ada tahapan-tahapan, kalau ada kontrol semua orang itu bisa mengendalikan terhadap apa yang selama ini dilakukan. Dari pada sebuah lembaga yang sama sekali tidak ada yang men­gontrol. Yang mengontrol dewan pengawas (KPK) adalah DPR dan Presiden. Itu di dalam pasal-pasal yang kita sempurnakan itu adalah dewan pengawas punya tanggung jawab untuk laporan pertanggung jawaban kinerjanya kepada pemerintah dan DPR, sekarang ini kan nggak ada.

Berbagai kalangan pemben­tukan Dewan Pengawas KPK hanyalah dalih DPR saja agar revisi ini bisa digolkan?
Ini pertanyaan yang sifatnya provokatif. Wartawan kan se­lalu begitu, kalau nggak gitu nggak wartawan namanya, he..he..he. Seperti halnya penyidik jika mengacu pada KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) harus berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan. Tetapi ada kekosongam di situ. Ketika kita minta penyidik pada Kejaksaan dan Kepolisian, se­mentara KPK membutuhkan tenaga yang menguasai bidang tertentu, dan tidak tersedia maka solusinya adalah KPK diberikan otoritas untuk merekrut gitu lho.

Namun rekrutmen dan meka­nismenya diatur dalam undang-undang itu sesuai dengan tun­tunan KUHAP. Ada juga yang menegaskan status mereka saat menjadi penyidik (independen) KPK seperti apa, PNS atau tenaga kontrak itu nanti diatur lebih lanjut dalam undang-undang ini.

Jika harus lapor dulu ke Dewan Pengawas sebelum me­nyadap, apa KPK masih bisa jadi lembaga superbody?
Yang jelas, suatu lembaga itu kalau tidak ada fungsi kontrol­nya akan berbahaya.

Bicara soal fungsi kontrol, bukankah selama ini KPK sudah diawasi oleh DPR dan Pemerintah. Apa enggak cu­kup?
Di dalam undang-undang itu kan sudah diamanatkan untuk dibentuk kode etik, tapi kan nggakdibuat oleh KPK. Karena dianggap akan mengganggu kinerja mereka. Oleh karena itu kita tingkatkan, ini kan perlu dikontrol. Diamanatkan tapi tidak dijalankan, ini kan nggak boleh. Undang-undang itu kan dibuat untuk dilaksanakan bukan diabaikan.

Dewan Pengawas ini persis­nya seperti?
Nah ini dalam proses, oleh karena itu ada dua keinginan di mana awalnya itu ditetapkan melalui keputusan presiden. Tapi ini masih pembahasan ada catatan-catatan dan akan dibawa pada pembahasan tingkat satu. Apa akan ditetapkan melalui Presiden atau fit and proper test seperti pemilihan komisioner KPK.

Presiden bentuk pansel, kemu­dian hasilnya diserahkan pada DPR untuk fit and proper-test,lalu presiden mengesahkan. Tapi ini masih dalam proses.

Kalau revisi UU KPK tiba-tiba ditolak pemerintah, ba­gaimana?
Ya begini, kita kembali lagi kepada konsistensi. Karena revisi Undang-Undang KPK ini bukan sesuatu yang sifatnya jalan sendiri, sudah ada komunikasi yang cukup lama dari bulan Juni yang lalu. Bahkan inisiatif pertama itu kan pemerintah. Kami tidak pernah melihat KPK-nya. KPK adalah pengguna, apapun yang terjadi mau tidak mau suka tidak suka harus jalankan undang-un­dang ini, seperti undang-undang lainnya.

Kami mengevaluasi undang-undang tidak hanya KPK saja, Kepolisian juga masuk dalam urut yang harus disempurnakan, juga Undang-Undang Pertanian, bahkan Bappenas sendiri sudah membuat suatu data terhadap masalah reformasi regulasi, di mana setiap undang-undang hasil reformasi itu belum ban­yak diperbaiki. Saya ikut diun­dang membahas di Bappenas ketika itu.

Tapi bagaimana dengan gelombang penolakan revisi UU KPK yang cukup besar, salah satunya lewat petisi online. Apa itu tidak dihiraukan?

Berapa besarnya…

Terakhir, tembus di atas 50 ribu lebih tanda tangan?
50 ribu dibanding 250 juta berapa persen…

Tidak bisa masuk sebagai bahan pertimbangan DPR dalam proses legislasi?
Ya boleh-boleh saja, orang beri pandangan kan tidak mengikat. Wong Dewan Pertimbangan Partai Golkar saja boleh mem­beri pertimbangan tapi tidak serta-merta menjadi mengikat untuk dilaksanakan. Karena kita juga melihat tingkat legalitas dari mereka yang menyam­paikan.

Itu membangun kebebasan menyampaikan pendapat, ke­mudian kita juga memberikan azas transparansi di dalam masa pembahasan ini. Tapi sekali lagi saya tegaskan, DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang tidak bisa diintervensi oleh siapapun. *** (sumber: rmol)

Facebook Comments Box