Gagalnya Segala Macam Program Pengurangan Populasi Orang Miskin
Di zaman Orde Baru, terdapat program serius pengentasan kemiskinan. Di dalamnya ada Inpres Desa Tertinggal (IDT). Tetapi, setelah tumbangnya Orde Baru, program serius pengurangan angka kemiskinan itu pun lenyap.
Setelah era reformasi, program yang memperhatikan soal kemiskinan, juga banyak tersedia. Bahkan, di zaman pasca Orba ini, berdiri Badan Amil Zakat Nasional yang terstruktur massif sedemikian rupa. Tapi, tampaknya yang menonjol dari urusan mereka ialah hanya sekedar membesarkan institusinya, khususnya lagi, membesarkan raupan perolehan zakat dari para muzakki. Mobil operasional para pengurusnya terlihat kren dan mewah. Gedung mereka baru dan cukup mentereng. Belum lagi gaji para pengurusnya. Pendek kata, lembaga ini lebih sibuk mengurusi dirinya sendiri ketimbang mengurus pengurangan angka mustahik zakat, yang di dalamnya terdapat fakir dan miskin.
Bila disigi bagaimana segala macam program pengurangan angka kemiskinan itu terjadi sedemikian rupa, maka sampailah kita pada kesimpulan seperti yang ditulis pada tulisan sebelumnya (Saatnya Golongan Fakir Miskin Harus Bangkit!), bahwa masalahnya sederhana saja. Yang bertindak mengentaskan kemiskinan sama sekali tidak melibatkan orang fakir dan miskin sebagai subjek yang lebih tahu dengan keadaan mereka sendiri. Fakir dan miskin hanya diletakkan sebagai objek belaka dari beragam program yang mereka susun.
Sangat ironis, mereka menyusun rencana dan berbicara berbusa-busa tentang orang-orang fakir dan miskin di dalam ruang ber-AC sambil menikmati makanan hingga perut kenyang, sementara objek yang mereka targetkan jangankan untuk menikmati AC, perut saja tiap hari keroncongan.
Oleh karena itu, tak ada gunanya banyak berdiri lembaga yang ditujukan untuk mengurangi angka kemiskinan, kalau sifat dan kebiasaannya masih seperti yang diungkap di atas.
Tetapi berharap, orang-orang yang betul-betul fakir dan miskin dilibatkan sebagai subjek yang merancang dan urun rembug meluncurkan program pengentasan kemiskinan, juga agak mustahil. Karena sebenarnya semua lembaga itu cuma tempat mencari penghasilan.
Yang paling mungkin ialah orang-orang fakir dan miskin berinsitif mengorganisir diri dalam satu kekuatan terstruktur sehingga dengan demikian mereka lebih valid dan kredibel untuk membicarakan problem yang mereka hadapi.
Dari wadah tersebut, mereka dapat berbuat lebih banyak untuk masa depan mereka. Karena sebenarnya, problem kemiskinan ini adalah problem politik. Karena masalahnya politik, maka memang tindakan pemecahannya pun haruslah bersifat politik dan bertendensi kekuatan politik. Dikatakan sebagai problem politik, karena sebenarnya banyak pihak yang mengambil keuntungan dengan adanya status quo, yaitu membludaknya angka populasi kemiskinan. Bahkan, partai politik dan ormas akan kehilangan basis massa juga manakala angka kemiskinan dikikis sedemikian rupa. Maka bagaimana mereka mau eksis?
Oleh karena itu, kalau tidak dengan cara seperti yang diusulkan di atas itu, sampai kapan pun, akan banyak orang-orang lahap memanfaatkan kaum fakir dan miskin bagi keuntungan mereka.
~ Bang SED