GANDI: FDS Itu Kebijakan Diskriminatif dan Meresahkan

 GANDI: FDS Itu Kebijakan Diskriminatif dan Meresahkan

Sekretaris Jenderal GANDI Ahmad Ari Masyhuri, MA

JAKARTA – Sekretaris Jenderal GANDI Ahmad Ari Masyhuri, MA menilai kebijakan Mendikbud terkait Full/Five Day(s) School (FDS) melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah merupakan kebijakan yang mengada-ada dan bersifat diskriminatif.

Menurut Ari kebijakan tersebut sangat nyata tidak bisa dilaksanakan oleh seluruh sekolah di Negara ini. Padahal ketika sebuah kebijakan dikeluarkan maka ia bersifat mengikat dan pasti bagi seluruh obyek hukum, dalam hal ini adalah sekolah, yang ada di wilayah Negara Republik Indonesia.

Sebagaimana dalam Pasal 9 Permendikbud tersebut terdapat klausul yang menyatakan “Dalam hal kesiapan sumber daya pada sekolah dan akses transportasi belum memadai… dapat dilakukan secara bertahap”, kata-kata “belum memadai” dan “dapat dilakukan secara bertahap” tersebut menunjukkan bahwa kebijakan ini dipaksakan dan tidak layak untuk dikeluarkan.

Ari menjelaskan, ketika sebuah kebijakan tidak mencakup seluruh obyek hukum dan tidak mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat berarti kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif.

Padahal, lanjut Arimasyhuri, semua sekolah mempunyai kedudukan dan hak yang sama di mata hukum. Hal ini sudah sangat jelas bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan peraturan perundang-undangan yang terkait.

“Kebijakan FDS harus diawali dengan kesiapan dengan sarana-prasarana yang memadai. Sementara, rasio peserta didik dengan sarana prasarana dan tenaga pengajar di Indonesia masih sangat timpang. Bahkan, ketimpangan ini juga banyak terjadi di sekolah dasar yang dikelola oleh pemerintah,” jelas Ari pada lintasparlemen.com, Ahad (14/8/2017).

“Bagaimana mungkin kebijakan yang bersifat nasional ini bisa dilaksanakan, sementara sekolah tingkat dasar yang dikelola oleh pemerintah saja masih belum dapat menerapkannya? Apalagi sekolah-sekolah tingkat menegah pertama dan atas, serta sekolah yang dikelola oleh masyarakat secara swadaya. Di mana sekolah-sekolah yang dikelola masyarakat tersebut memiliki beragam karakteristik dan terbukti memberikan kontribusi bagi Negara. Oleh karena itu, sebaiknya Kemendikbud lebih berkonsentrasi untuk membenahi sarana-prasana dan tenaga pengajar terlebih dahulu sebelum mengeluarkan kebijakan tersebut,” paparnya.

Lebih lanjut, Arimasyhuri menyatakan, kebijakan FDS ini dapat mencerabut anak dari lingkungan sosial-budaya dan mengeksplorasi kearifan lokal yang tumbuh berkembang di dalamnya. Kebijakan 8 jam sekolah dalam sehari itu dapat mengurangi interaksi anak dengan lingkungan sosial-budaya dan kepekaan sosial di tempat tinggalnya.

Jika pemerintah lebih mengorientasikan kebijakan pada persoalan perkotaan, seperti kenakalan remaja, bukan berarti pendidikan hanya ada di sekolah dan kota. Akan tetapi, sebagian besar penduduk di Indonesia masih tinggal di kawasan pedesaan, di mana proses pendidikan yang baik bukan hanya terjadi di dalam sekolah, tapi juga dapat berlangsung di dalam keluarga dan lingkungan sosial-budaya anak-anak tinggal.

“Sebaiknya Kemendikbud meningkatkan pelayanan pendidikan terhadap masyarakat di luar sekolah, sehingga lingkungan sosial-budaya anak-anak menjadi lebih baik. Pelayanan pendidikan bagi ibu rumah tangga atau kelompok-kelompok masyarakat lainnya, seperti lembaga sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang ada di tengah-tengah masyarakat, justru memberikan kontribusi penting bagi pendidikan anak-anak, baik dalam sekolah maupun luar sekolah,” usul Arimasyhuri.

Untuk itu, Arimasyhuri menjelaskan alasan kebijakan FDS ini dapat menimbulkan kebingungan masyarakat dan potensi terjadinya benturan antara penyelenggaraan pendidikan yang dikelola oleh masyarakat dengan yang dikelola oleh Pemerintah.

Sebagaimana diketahui banyak masyarakat yang menyerahkan pendidikan anaknya tidak hanya di sekolah, tetapi juga menyerahkan pada lembaga pendidikan lain dalam rangka meningkatkan pengembangan anak, seperti kursus keterampilan, kesenian, pendidikan agama, dan lain-lain. Di mana masyarakat lebih mempercayai lembaga-lembaga non-sekolah formal tersebut untuk pengembangan potensi anak-anaknya.

“Dengan adanya kebijakan ini, banyak orang tua menjadi resah karena waktu penyelenggaraan pendidikan non-sekolah formal tersebut diambil oleh sekolah. Sementara sekolah belum mampu dan belum terbukti dapat memenuhi kebutuhan tersebut,” tandas Arimasyhuri.

Oleh karena itu, menurutnya GANDI, pemerintah harus mencabut kebijakan Permendikbud 23 tahun 2017 tersebut, alih-alih mengeluarkan Peraturan Presiden yang memperkuat kebijakan FDS dengan bungkus penguatan pendidikan karakter. Sebab, kebijakan ini sudah jelas diskriminatif dan meresahkan masyarakat.

“Sebaiknya Pemerintah lebih berkonsentrasi dalam memperbaiki pelayanan pendidikan di sekolah dan luar sekolah yang saat ini masih sangat memprihatinkan,” pungkasnya. (HMS)

 

 

Facebook Comments Box