‘Geopolitik Global Pengaruhi Situasi Politik Dalam Negeri’

JAKARTA – Dewasa ini berbagai dinamika geopolitik antara lain perebutan pengaruh antara Amerika Serikat-Tiongkok konflik di Timur Tengah, hingga merebaknya gerakan radikalisme mengatasnamakan agama yang bersifat transnasional memiliki dampak bagi situasi global, tidak terkecuali Indonesia.
Hal itu disampaikan pengajar Dasar-Dasar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Kris Wijoyo Soepandji S.H., M.P.P saat acara meluncurkan bukunya yang berjudul Ilmu Negara: “Perspektif Geopolitik Masa Kini” di Menara Batavia, Jakarta, Sabtu, (16/12/2017) kemarin.
“Dinamika-dinamika itu dapat berpengaruh pada stabilitas nasional. Apalagi, Indonesia akan memasuki tahun politik pada tahun 2018-2019. Jangan sampai dinamika geopolitik menimbulkan perpecahan di antara sesama anak bangsa,” kata kata Kris dalam seminar tersebut.
Menurut Kris, dinamika geopolitik berpengaruh langsung pada kepentingan bangsa Indonesia, baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan militer.
Dalam hal ini, lanjutnya, paling tidak ada empat peristiwa sejarah penting yang dipengaruhi dinamika geopolitik, yaitu pertama, jatuhnya Konstantinopel ke tangan Dinasti Ottoman yang mendorong bangsa-bangsa Eropa untuk mencari jalur alternatif distribusi sumber daya alam dengan cara menguasai jalur perdagangan komoditas dari Asia, Amerika, dan Afrika.
“Kedua, diplomasi kemerdekaan Indonesia (1945-1949); ketiga diplomasi kembalinya Irian Barat ke Ibu Pertiwi yang berlangsung pada masa Perang Dingin antara Blok Barat yang dipimipin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet; dan keempat, lepasnya Timor Timur dari Indonesia pada tahun 1999 setelah berakhirnya Perang Dingin, di mana pada saat itu opini internasional semakin menyudutkan Indonesia sehingga berujung pada diadakannya jajak pendapat pada tahun 1999,” papar Kris.
Secara umum, sambungnya, geopolitik berbicara tiga hal. Pertama, interaksi manusia dalam suatu hubungan kekuasaan (politik) di dalam suatu ruangan tertentu. Kedua, bagaimana aktor utama geopolitik tidak lagi berpusat pada negara, tapi pada aktor selain negara yang semakin punya peran dan legitimasi yang tinggi.
“Ketiga, berkaitan dengan penguasaan dan pemanfaatan sumber daya,” ujar Kris.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Bidang Studi Dasar-Dasar Ilmu Hukum FHUI Budi Darmono, S.H., Ph.D mengatakan bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 merupakan bukti kesadaran geopolitik dari para pendiri bangsa (founding fathers).
Saat itu, kata Budi, Proklamasi Kemerdekaan dilakukan para pendiri bangsa dengan memanfaatkan momentum kekosongan kekuasaan setelah Jepang menyerah pada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945.
“Sebelum Proklamasi Kemerdekaan, para pendiri bangsa yang tergabung dalam Bada Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945 bersidang untuk merumuskan dasar negara yang kemudian dikenal sebagai Pancasila,” ujar Budi.
Dalam hal ini, terangnya, Pancasila telah menawarkan suatu gagasan baru pada dunia tentang kenegaraan. Hingga kini, dunia secara umum dikotomi antara negara teokrasi dan negara sekuler.
“Namun, dengan mengakui prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, Pancasila menawarkan jalan tengah untuk tidak menjadi negara teokrasi maupun negara sekuler. Jalan tengah yang ditawarkan oleh Pancasila inilah yang dibutuhkan dalam mewaspadai dinamika geopolitik,” pungkas Budi. (Zaki)