Gerakan Mahasiswa 2024 dan Rungkadnya Model Propoganda Jokowi
Jokowi adalah sosok Presiden yang berhasil dari sebuah rangkaian propoganda yang cerdas, sistematis dan andal. Sosoknya dihadirkan betul-betul sebagai antitesa Presiden sebelumnya, SBY, yang bercitra kaku, elitis, militer, lamban, banyak bernarasi, sok berwibawa, dan serba teratur. Padahal itu juga citra yang dibentuk oleh propoganda guna meraih stabilitas pasca presiden-presiden sebelumnya yang kacau dan bergejolak.
Datanglah propoganda kontra citra SBY, yang merakyat dalam sikap, cara bicara, hingga gaya busana. Dan sosoknya ialah terdempul pada wajah Jokowi.
Pada 2014, Jokowi muncul dengan busana sederhana yang dipersepsikan murah, simpel, dan gampang diingat dan disebarkan ke seluruh tempat-tempat massa: seperti Bandara, Mall dan lain-lain. Orang menjadikannya sebagai objek foto pribadi, sehingga dengan cepat menyebar otomatis dari orang ke orang. Hasil akhirnya, popularitas Jokowi meroket. Sosok Jokowi melekat dalam ingatan orang.
Orang tidak menyadari bahwa hal itu sebagai metode propoganda. Walaupun sebelumnya, citranya sudah mulai muncul melalui isu mobil Esemka hingga masuk gorong-gorong sewaktu sebagai gubernur DKI. Tapi apakah propoganda itu?
Hemat saya, propoganda ialah aneka bentuk komunikasi, publikasi dan pengolahan informasi untuk dilemparkan ke sasaran (misalnya: publik) sebagai umpan secara terprogram untuk membentuk persepsi, emosi, sikap, tindakan dan perilaku dengan menggiring dan memanipulasi pikiran, dan mengarahkan perilaku, untuk memanen reaksi, baik berupa ketundukan maupun penentangan untuk kemudian digiring kepada kolom yang diinginkan oleh penyebar propaganda. (Bhre Wira, 2024)
Model propoganda Jokowi selama ini ialah menyasar emosi dan akal primitif kita atau dalam bahasa ilmiah croc brain atau otak buaya. Otak buaya biasa diperbandingkan dengan neokorteks. Singkatnya, croc brain hanyalah kerja intelek secara sederhana dan berguna untuk kebutuhan survive saja.
Sasaran naluriah otak buaya adalah untuk menjaga energi mental, dan hanya melibatkan neokorteks ketika benar-benar dibutuhkan. Sedangkan neokorteks ialah mengambil alih dan memproses informasi secara lebih terperinci dari croc brain, sehingga kita memiliki pemahaman yang lebih lengkap, kompleks dan rencana tindakan bisa disusun.
Ternyata ketika Jokowi di dalam kemunculannya menargetkan penaklukan terhadap croc brain masyarakat Indonesia, dan kemudian berhasil, tetapi dalam perjalanannya kemudian propogandanya terbongkar dengan simulasi perilaku keluarganya yang bertentangan dengan propoganda tersebut, membuat secara otomatis croc brain masyarakat bekerja melemparkan informasi kepada neokorteks mereka dan diproses sehingga hasilnya ialah persepsi sederhana dan jujur Jokowi ternyata bohong belaka. Akibatnya mesin propoganda Jokowi selama ini, tidak berfungsi lagi.
Ditambah lagi, mahasiswa yang terlatih dengan berpikir menggunakan neokorteks, secara alami menolak propoganda Jokowi. Inilah yang dihadapi mesin propoganda Jokowi saat ini. Sekarang adalah neokorteks telah memimpin kerja otak masyarakat dalam memahami Jokowi. Maka untuk menaklukkan neokorteks tidak bisa lagi dengan croc brain yang selama ini diandalkan oleh mesin propoganda Jokowi. Walhasil, mesin propoganda Jokowi sekarang ini rungkad akibat dirinya sendiri yang tidak konsisten dengan apa yang dicitrakannya.
Bhre Wira, penulis Indo Amnesia. Bisa dihubungi 087804831205