Hasrat 3 Periode Jokowi yang Gagal dan Pagar Laut Ilegal
Skandal pagar laut ilegal, puzzle-nya dapat dihubungkan dengan proyek 3 periode mantan Presiden Jokowi yang gagal. Dimulai dengan pertanyaan: mengapa Jokowi waktu itu berhasrat sekali menyambung masa jabatannya hingga 3 periode, melampaui batas jabatan yang diizinkan oleh undang-undang?
Menurut saya, telah terjadi deal-deal antara Jokowi dengan para cukong-cukong besar yang memiliki proyek-proyek raksasa di Indonesia dengan pertaruhan untung – rugi yang besar manakala kehilangan jaminan politik dari presiden atau rezim. Karena situasinya seperti itu, maka didoronglah Jokowi agar dapat duduk 3 periode meski harus mengubah undang-undang. Tetapi rupanya, kekuatan yang mendorong 3 periode tersebut gagal, karena “diveto” oleh Megawati dan lain-lain sebagai kekuatan besar di luar Jokowi.
Namun bagi kekuatan pro 3 periode tersebut masih memiliki harapan jika pilpres dapat dimenangkan oleh grup yang didukung oleh Jokowi dan menganggap proyek-proyek raksasa yang sudah terlanjur direncanakan dan dibangun, dapat tetap berlanjut dan diproteksi oleh presiden baru dukungan Jokowi.
Tragisnya, proyek-proyek raksasa yang diperhitungkan akan membukukan keuntungan ribuan triliun itu dengan masa pengelolaan yang panjang itu, ditempuh dan diproses dengan melanggar hak asasi manusia (ecosoc) dan hukum yang berlaku.
Bahkan ternyata ditempuh dengan memaksakan kehendak, penerapan penindasan dan sulap kebijakan seperti PSN. Akibatnya rakyat yang ditindas oleh penguasa yang telah dikendalikan oleh cukong-cukong besar tersebut meradang dan menjerit sehingga menimbulkan keterkejutan dan kegeraman publik. Praktik penindasan oleh aparat pemerintah dan partisan-partisannya demi memenuhi hasrat para cukong, tentu saja tidak lagi dapat ditutupi dan disembunyikan di era full publikasi sekarang ini.
Kasus pagar laut ilegal yang menyeret PIK 2 hanyalah satu contoh yang terungkap, dan tentu masih banyak lagi kasus-kasus penindasan atas nama proyek raksasa yang belum terbongkar ke publik di seluruh Indonesia.
Sekarang kasus pagar laut ilegal ini membuka mata publik betapa telah demikian jauh dan dalamnya cengkeraman pemodal raksasa terhadap setiap tangan negara yang berkepentingan dan berwenang terhadap suatu proyek raksasa, baik kementerian, lembaga maupun institusi-institusi resmi terkait lainnya. Buktinya, hanya kementerian ATR/BPN yang rada gercep (gerak cepat) bertindak. Coba kalau rakyat kecil melakukan pelanggaran atas lahan negara, langsung dibuser oleh Polisi.
Saya jadi berimajinasi bahwa sebenarnya relasi antara pemerintah berkuasa sebelumnya dengan pemodal-pemodal besar yang ditengarai sebagai pendukung rezim, bisa jadi tidak sekedar hubungan jangka pendek dan sekedar saling oper keuntungan, tapi mungkin lebih jauh dari itu: suatu hubungan stretegis jangka panjang mengikat, dimana para pemodal besar berfungsi sebagai pencipta mesin-mesin uang yang tak berseri, dan rezim yang mereka dukung bertugas mengamankan koridor kerja mereka sekaligus mengendalikan rakyat manakala timbul protes dan keberatan, dengan cara apapun, mulai dari persuasif, represif, hingga peninaboboan.
Gejala ini betul-betul terlihat di masa pemerintahan sebelum ini, yaitu masa mantan Presiden Jokowi. Saya kira, kalaulah rezim sebelumnya yang sebagian besar sisanya masih bercokol saat ini dalam susunan pemerintahan Prabowo, tidak mengizinkan terjadinya pelanggaran hukum dan praktik penindasan dan kesewenang-wenangan, barangkali tidak akan ada cerita dibongkarnya pagar laut ilegal di bagian utara Provinsi Banten itu.
Dan hal ini juga mengonfirmasikan betapa korupnya rezim sebelum ini. Dapatkah hal ini dibiarkan tanpa proses hukum yang berlaku hanya karena hendak menjaga smooth atau memproses semua yang tersandung secara hukum demi wibawa negara di mata negara lain dan rakyat sendiri?