‘HET Minyak Goreng Naik Indikasi Pemerintah Gagal Atasi Tekanan Konglomerat’
JAKARTA – Anggota Komisi IV DPR Hermanto berpendapat, bergesernya harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng dari 11.000 rupiah menjadi 14.000 rupiah mengindikasikan pemerintah gagal mengatasi tekanan dari para konglomerat sawit. Hal itu seharusnya tidak terjadi karena Pemerintah memiliki kekuatan regulasi untuk mengkonsolidasikan para konglomerat tersebut.
“Pemerintah berdalih kenaikan HET minyak goreng itu terjadi karena kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO) global. Mestinya hal tersebut dapat diatasi karena sawit Indonesia melimpah. Indonesia merupakan produsen CPO terbesar di dunia,” papar Hermanto kepada wartawan menjelang Rapat Paripurna Pembukaan Masa Sidang ke-3 DPR RI tahun 2021-2022, Selasa (11/01/2021).
Sebagai produsen CPO terbesar di dunia, kata Hermanto, mestinya Pemerintah Indonesia dapat memainkan politik dagang dunia yang dominan mempengaruhi harga sawit global. “Jangan sebaliknya, negara yang bukan penghasil sawit malah dominan mempengaruhi harga sawit global,” tandas legislator dari FPKS DPR ini.
“Kenaikan HET minyak goreng juga seharusnya tidak terjadi karena HET merupakan harga kompromi yang memenuhi unsur keadilan sosial untuk kemakmuran sebesar-besarnya bagi masyarakat dan proteksi negara terhadap masyarakat yang tidak mampu,” tambah Hermanto.
Ironisnya meski HET sudah naik ke Rp. 14 ribu , lanjutnya, harga minyak goreng di pasaran masih jauh diatas harga tersebut. Pusat Informasi Pangan Strategis Nasional (PIPSN) belum lama ini merilis harga minyak goreng per kilogramnya dijual di kisaran Rp 19.000 sampai dengan Rp 24.000. “Harga belum juga turun padahal pemerintah telah gencar melakukan operasi pasar dengan harga Rp 14.000. Operasi pasar dan kenaikan HET tidak mampu menurunkan harga. Pemerintah perlu memperkuat regulasi,” papar Hermanto.
Hampir sebulan ini harga minyak goreng menjadi perbincangan publik terutama dikalangan pedagang eceran karena pasokan minyak goreng minim. Pedagang gorengan dan ibu-ibu rumah tangga mengeluh karena harganya terus melambung melampaui HET. “Harga mestinya kembali normal dan stabil setelah dilakukan operasi pasar. Tapi nyatanya harga tetap tinggi, hal ini mengindikasikan operasi pasar tidak mempan,” ujar Hermanto.
Menurutnya, minyak goreng sudah menjadi komoditas pangan pokok strategis yang menjadi kebutuhan harian masyarakat Indonesia. Harganya memiliki dampak transmisi pada produk turunannya. “Kenaikan harga minyak goreng akan memicu inflasi. Karena itu mestinya harganya perlu dijaga secara stabil oleh pemerintah,” ucap Hermanto.
Ia menyarankan, agar Pemerintah melalui BUMN membangun kilang-kilang minyak sawit di setiap kawasan sentra sawit yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan CPO. “Sebagai cadangan atau stok untuk menghadapi situasi kritis seperti sekarang ini dan atau untuk mengantisipasi keadaan darurat,” pungkas legislator dari Dapil Sumbar I ini. (joko)