‘Idul Adha Menguatkan Solidaritas Kemanusiaan’

 ‘Idul Adha Menguatkan Solidaritas Kemanusiaan’

Selamat Hari Raya Idul Adha

Oleh: KH Maman Imanulhaq, Ketua Lembaga Dakwah PBNU/ Anggota Komisi VIII DPR-RI dari Fraksi PKB

Hakikat Idul Adha adalah kembali kepada pemahaman nilai qurban yang berpangkal dan konsep keimanan dan kemanusiaan, dua pilar terpenting peradaban manusia.

Kata “qurban” mengandung tiga makna yang sarat dengan pelajaran moral (i‘tibar) yang bisa membekali manusia untuk memperjuangkan nilai-nilai Ilahiah serta kemanusiaan, terutama bagi bangsa Indonesia yang saat ini diuji oleh sindikat penyebar kebencian berbasis SARA seperti yang dilakukan SARACEN.

Makna Pertama

Pertama, qurban bermakna taqarrub, yakni mendekatkan diri kepada Allah. Kedekatan antara hamba dan pencipta (khalik)-nya tidak mungkin terjadi jika sang hamba berjiwa kotor, berhati keras, dan berpikiran jahat. Untuk itu, ketika takbir Idul Adhadatang menyapa relung batin manusia, maka kesadaran nurani yang selama ini tertutup nafsu, ambisi, dan kepentingan pribadi harus tergugah.

Allah Maha Dekat yang kedekatannya melebihi urat nadi manusia hanya bisa didekati dengan keseriusan berzikir dan keinginan kuat membenahi sikap keberagamaan yang selama ini telah ternodai oleh kesombongan, ketakaburan, dan kepongahan.

Zikir kepada Allah (dzikrullâh) adalah upaya untuk menyucikan hati, menenteramkan hati, dan mengkhusukkan kalbu sehingga seseorang mampu berendah hati serta berintrospeksi terhadap kesalahan dan kekeliruan sendiri tanpa harus mencari kesalahan orang lain.

Kecenderungan manusia untuk melakukan kemungkaran dan kezaliman bisa diminimalisir, bahkan ditepis dengan zikir. Dengan zikir, hati yang selama ini gelap dan tersesat akan kembali disinari nur Ilahi sehingga prasangka, dendam, dan amarah akan melembut menjadi cinta kasih.

Ketika Kita diterpa musibah dan bencana silih berganti, hati yang gelap pun bertanya, “Di manakah pertolongan Allah?” Pertanyaan ini muncul dari keraguan dan prasangka terhadap Allah. Selama ini, orang yang mengharap pertolongan Allah justru sering berbuat aniaya terhadap dirinya dan orang lain (zalim).

Manusia yang hatinya gelap juga gemar menghujat ajaran kelompok lain yang dirasa berbeda, tetapi perilaku serta ajaran yang dihujat justru tumbuh subur dalam aliran darah yang menghujat. Orang seperti itu sering mengutuk, mencaci, dan menghina orang lain, tetapi diam-diam (sadar atau tidak) ia ternyata menggantikan kemungkaran dan kebiadaban orang yang dikutuknya.

Jiwa yang kosong dari dzikrullâh acapkali senang dalam suasana perpecahan, bukan kebersamaan. Ia tenggelam dalam belenggu perang saudara, bukan penyembuhan luka bangsa. Perpecahan dan perang saudara tentu saja mengakibatkan kesengsaraan batin, selain juga merupakan tabungan dosa yang menjadi tirai penutup kedekatan seseorang kepada Allah.

Makna Kedua

Kedua, qurban merupakan konsep pengurbanan yang dilandasi keikhlasan dalam menjalankan pengabdian, tugas, dan perjuangan tanpa mengharapkan balasan dan pujian serta keuntungan materi yang menjadikan nilai kesalehan menjadi sia-sia.

Keikhlasan dan ketulusan jiwa akan memunculkan ketegaran dan keistiqamahan, meskipun seseorang diasingkan, dikucilkan, dan ditinggalkan oleh masyarakat yang telah terpedaya hawa nafsu. Lebih dari itu, rasa ikhlas yang sejati akan membuat hidup seseorang selalu merasa memeroleh kemenangan dalam kekalahan, kenyang dalam kelaparan, cukup dalam kekurangan, aman dalam ketakutan, dan selalu optimis meskipun derita datang mendera.

Kehancuran bangsa dan negara ini akan terjadi karena menipis dan memudarnya rasa pengurbanan warga negara—khususnya para pemimpin dan elit politik—untuk menegakkan keadilan dan kemakmuran. Yang mereka pikirkan adalah: “Apa yang dapat diperoleh dari negara ini, bukan apa yang dapat diberikan kepada bangsa dan negara.”

Di masa ” kerja Bersama ” ini masih ada para penguasa (elit politik dan elit ekonomi) justru mengorbankan rakyat kebanyakan, khususnya kaum lapis bawah. Para penguasa itu bersimpang jalan dengan semangat “qurban”. Mereka berwatak serakah dan materialistik. Mereka mengkhianati rakyat dengan prilaku korupsi seperti yang terjadi di beberapa Kementrian, Pemda dan Anggota Legeslatif.

Tujuan pendek dan kesenangan sesaat yang acapkali menipu dan mengelabui akan sirna oleh keikhlasan yang muncul dari pribadi yang selalu mengharap Cahaya Allah. Kita sebaiknya bercermin dari ketulusan (keikhlasan) dan keberanian para Nabi dan Rasul untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Suatu pengabdian dan perjuangan yang tulus akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah Swt.

Sosok yang ikhlas dan siap berkurban biasanya akan tegar mengalami penderitaan dan cobaan. Ia juga tabah dalam hujatan dan caci maki. Ibarat lilin, ia membiarkan dirinya terbakar agar memancarkan cahaya yang mampu menerangi saudara, tetangga, masyarakat, dan generasi yang akan datang.

Keikhlasan akan menjauhkan seseorang dari sikap zalim. Orang yang zalim mencoba meraih kesuksesan di atas penderitaan, kepedihan, dan kesusahan orang lain. Orang yang zalim akan selalu berkhianat dan menjadikan orang lain sebagai tumbal untuk mengeruk keuntungan. Kesuksesan umat untuk keluar dari bencana dan tragedi kemanusiaan tergantung pada keikhlasan, ketulusan, dan pengabdian mereka demi mengharap ridha Allah semata.

Makna Ketiga

Ketiga,qurban yang disimbolkan dengan menyembelih hewan merupakan suatu teladan dari Nabi Ibrahim saat diperintah oleh Allah untuk mengurbankan Ismail, putra terkasihnya.

Teladan agung tersebut seharusnya mampu menyentuh kesadaran intelektual dan imajinasi seorang hamba. Tindakan Nabi Ibrahim merupakan simbol kemenangan seorang manusia atas nafsu hewaniah, ego kecil, romantisme kepentingan pribadi, dan sentimentalitas cinta kasih lokal.

Manusia sebenarnya telah mengenal konsep “qurban” sejak dahulu; bahkan sejak masa Habil dan Kabil, dua putra Nabi Adam yang diperintahkan “berkurban” untuk menguji ketulusan mereka berdua di hadapan Allah. Dari kisah Habil dan Kabil bisa diambil pelajaran bahwa Allah menerima “qurban” yang dipersembahkan seseorang bukan dari bentuk lahiriah sesuatu yang dikurbankan, melainkan dari ketulusan jiwa yang berkurban.

Semangat berkurban yang dicontohkan Nabi Ibrahim bukanlah perbuatan untuk mengurbankan manusia lainnya demi tujuan dan keuntungan sesaat yang keji sebagaimana dilakukan para penguasa lalim sepanjang sejarah, melainkan suatu sikap untuk menyerahkan sesuatu yang dititipkan oleh Allah.

Ketika Allah telah dinomorsatukan dalam kehidupan, maka demi mempertahankan aqidah yang mengharuskankejujuran, keadilan, dan ketulusan, apapun siap dikurbankan, entah materi, pangkat, jabatan, nama baik, dan nyawa sekalipun.

Hal itu telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim yang mengajarkan kepasrahan dan kerelaan demi mengesakan Allah. Dalam kehidupan modern, peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim sering terlupakan. Padahal, dari sana bisa ditarik pelajaran berharga bahwa Allah sangat mengasihi umat manusia karena manusia tidak boleh dikurbankan dan diganti dengan hewan.

Dengan semangat Idul Qurban, manusia harus mampu “menyembelih” watak buruk dan sifat kebinatangan yang ada dalam dirinya; seperti rakus, serakah, zalim, menindas, dan tidak mengenal hukum dan norma.[]

 

Facebook Comments Box