Indonesia Butuh Perang Agar Rakyatnya Maju dan Makmur
Di dunia ini, ada dua kondisi yang mempengaruhi secara langsung keadaan, sikap mental dan postur suatu negara dan masyarakat. Yaitu perang atau damai.
Dihadapkan dalam kondisi perang atau ancaman perang, masyarakat atau negaranya akan dengan sengaja diset up menjadi bersifat antisipatif, berorientasi menang, dan dididik untuk senantiasa meningkatkan kapasitas, kapabilitas dan kompetensi. Akhirnya, secara positif masyarakat dan negaranya menjadi dinamis, progresif, tahan uji, kreatif dan produktif.
Sebaliknya suatu masyarakat dan negara yang menganggap dirinya aman, damai dan tanpa ancaman perang, maka sikap, mentalitas dan perilaku hidup masyarakat dan negara tersebut, stagnan, monoton, malas dan berorientasi jangka pendek. Indonesia, sialnya sebagian besar masyarakat dan elit negaranya seperti yang terakhir ini, kecuali kalangan aparat bersenjata dan masyarakat pengusahanya. Akibatnya, dua golongan inilah yang lebih menikmati keadaan dan berkuasa di dalam masyarakat Indonesia. Sebabnya sederhana: sementara golongan yang lain menyangka hidup hanya sekedar cukup apa yang ada, berjalan normal-normal saja, dua golongan ini sebaliknya menganggap hidup adalah perang atau sekurang-kurangnya persaingan menguasai sumber-sumber dan sarana-sarana kehidupan demi keamanan, kemenangan dan kekuasaannya. Sialnya, kedua golongan ini hanya bertarung ke internal yang sebenarnya sudah tidak seimbang, bukan ke eksternal, seperti negara dan masyarakat lain.
Di Asia Tenggara, negara yang mirip seperti Indonesia, yaitu Myanmar, Filipina, dan mungkin pada segi tertentu, Laos. Myanmar, persis seperti Indonesia. Tak menganggap negara tetangganya sebagai musuh potensial untuk menggusur dan mengancam eksistensi negaranya.
Negara tersebut, hanya berkonflik antar sesama elemen masyarakatnya, yaitu antara rezim militer dan Liga Nasional untuk Demokrasi, partai pimpinan Aung San Suu Kyi. Ditambah lagi, konflik antara suku bangsa dan agama: Burma yang dominan Budha dengan Rohingya yang Muslim; dan Burma yang dominan Budha dengan Karen yang Kristen.
Sifat konflik Filipina juga demikian. Faktor ancaman konflik lebih kepada internal. Terutama sekali antara Manila dan Mindanau, yaitu antara Katolik dan Islam. Sehingga dengan demikian, ketiga negara ini, yaitu Indonesia, Myanmar dan Filipina, konsentrasi dan orientasinya, yaitu bagaimana mengamankan integrasi nasional dan menanggulangi separatisme, yang memberikan keadaan yang kondusif berkuasanya golongan bersenjata dan golongan bisnis.
Sekarang kita bandingkan dengan Malaysia, Singapura, Vietnam, Kamboja bahkan Timor Leste.
Malaysia memandang dirinya terancam dengan Indonesia. Demikian juga dengan Singapura. Presedennya memang ada, yaitu masa Presiden Soekarno yang mengobarkan perebutan wilayah Malaysia Bagian Kalimantan, atau Serawak dengan kampanye Dwikora. Kampanye Dwikora ini juga mengancam Singapura pada waktu itu, dengan peledakan restoran McDonald yang dituduh dilakukan oleh dua marinir Indonesia, yaitu Usman dan Harun.
Kesadaran politik Malaysia yang menempatkan Indonesia sebagai ancaman, mendorong negara tersebut untuk memajukan kapasitas nasional mereka, termasuk kapasitas ekonomi, daya saing internasional dan khususnya, kapasitas militernya. Indonesia, malahan dikunci oleh Singapura menjadi sapi perah ekonomi, bagi negara berbasis jasa perdagangan tersebut. Mujurnya Singapura, banyak pula elit-elit bisnis dan politik Indonesia yang dengan senang dan nyaman, membawa negara Indonesia sebagai sapi perah bagi Singapura. Elit-elit korup ini, menempatkan uang dan markas keuangannya di Singapura.
Bagi Singapura, hal ini sangat menguntungkan, karena dapat mengamankan negara kecil itu, dari potensi invasi Indonesia.
Sementara Malaysia, mengeksploitasi ancaman Indonesia sebagai sumber motivasi agar Malaysia menjadi lebih kuat dan maju. Mereka menempatkan Malaysia sebagai ikon dan episentrum peradaban Islam dalam konteks Asia Tenggara, sehingga dunia pendidikan dan ekonomi mereka pacu guna meningkatkan daya saing negara mereka sekaligus mengimbangi ancaman Indonesia.
Adapun Vietnam, potensi ancaman eksternal mereka datang dari China. Vietnam dan China pernah mengalami perang perbatasan dari 1979 – 1992. Perang itu sendiri, sebagai akibat invasi Vietnam terhadap Kamboja.
Sementara Kamboja, malah datang dari Vietnam. Konflik Kamboja versus Vietnam ini, tidak bisa dilepaskan oleh persaingan antar sesama komunis, khususnya antara RRC versus Uni Soviet.
Dari bentangan di atas, nyatalah bahwa kondisi mental suatu masyarakat yang dibayang-bayangi oleh ancaman serangan dan perang dari negara asing, ternyata positif bagi motivasi untuk maju dan berkembang pada suatu negara atau masyarakat. Apalagi jika perang dan serangan itu, saban waktu dapat meletus, maka sikap antisipasi dan memperkuat diri pada masyarakat, dapat subur dan mendorong kemajuan.
Banyak negara yang mengkapitalisasi faktor ancaman perang ini, sehingga berguna bagi kapasitas dan kompetensi negara tersebut. Seperti misalnya, Israel. Beberapa negara malahan mempraktikkan kata-kata Deng Xio Ping, yaitu “menyentuh bokong harimau”, yang maksudnya dengan sengaja memancing bahaya perang. Jadi sengaja menciptakan perang guna keuntungan masyarakatnya.
Konteks ” menyentuh bokong harimau ” itu, dimaksudkan dalam memancing Vietnam berperang dengan China, guna meningkatkan keterampilan dan kekuatan mental tentara China sekaligus guna meningkatkan kapasitas China di era Deng Xio Ping.
Cara seperti ini, juga diterapkan oleh Amerika, yang menyulut perang di berbagai belahan bumi. Tujuannya untuk meningkatkan kapasitas pengetahuan, teknologi dan pengaruh Amerika, khususnya militernya, terhadap seluruh dunia.
Manakala kita menoleh kepada sejarah imperium Islam, baik pada tahap permulaannya di Madinah sejak Rasululllah, Khulafaurrasyidin, Rezim Umayyah, Rezim Abbasiyah, hingga Utsmaniyyah yang bermarkas di Turki, semua era tersebut menghadapi perang dengan memanfaatkannya guna kapasitas negaranya.
Rasululllah dan sahabatnya sendiri, sepanjang masa pemerintahannya yang berlangsung 10 tahun di Madinah, menghadapi perang berkali-kali. Bahkan bentrok dengan Romawi, imperium raksasa di Muktah dan Tabuk, yang hingga kemudian diselesaikan oleh Umar dengan Panglima Perangnya, Khalid bin Walid, di Yarmuk, yang mengakhiri kekuasaan Romawi di Siria dan Palestina.
Rahasia mental dari pentingnya kondisi perang ialah agar kita manusia berorientasi menang, tajam dan peka situasi, hidup terencana dan teragenda dengan baik, sikap mental lebih kuat, dan terhindar dari mentalitas lengah, lalai dan sembrono. Sikap mental seperti di atas, merupakan prasyarat untuk maju dan berkembang. Dan umat Islam di Indonesia, harus dengan jujur kita akui, kehilangan semua sikap mental itu, akibat menganggap situasi yang dihadapinya berjalan damai dan normal-normal saja. Padahal orang lain, memandang sebaliknya, yaitu perang: menang atau bertahan.
Ada baiknya, pendidikan diberikan kepada anak-anak kita, diarahkan untuk menumbuhkan sikap mental yang positif bagi mereka. Supaya tidak menjadi mangsa dan mewarisi kebodohan dalam menghadapi situasi seperti yang dilakonkan oleh para orang tua mereka. Mereka harus diajarkan orientasi untuk menang, meletakkan situasi yang mereka hadapi sebagai pereng perebutan sumber-sumber dan sarana-sarana hidup, dan melatih sikap mental yang menjauhi kelengahan dan kelalaian, walaupun lahirnya tidak terlihat perang bersenjata.
~ Bang SED