‘Indonesia Sudah Siap Hadapi Arbitrase PT Freeport’
JAKARTA, Lintasparlemen.com -Beberapa waktu lalu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengaku sedang mencarikan jalan yang terbaik sebagai solusi bagi PT Freeport Indonesia soal kepastian investasi di Indonesia pasca terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017.
Namun jalan keluar sebagai solusi yang ditawarkan pemerintah tidak diterima oleh manajemen Freeport Indonesia. Yang jadi masalah kemudian muncul ancaman dari Freeport untuk menggugat pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Setya W Yudha meminta pemerintah tidak khawatir dengan ancaman itu. Setya mengatakan dalam menghadapi gugatan itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) perlu mencari jalan terbaik yang tidak melanggar hukum dalam menghadapi gugatan Amerika Arbitrase Internasional tersebut.
“Menurut saya keberadaan negara berdaulat diakui di dalam pasal Kontrak Karya ini pasal 23 ayat 2. Nanti pemerintah pada gilirannya hingga sampai menuju kepada langkah arbitrase bisa menggunakan ayat ini di dalam pemberlakuannya,” kata Setya dalam Talkshow Akhir Pekan Polemik Republik Freeport love 104. Sindo Trijaya FM, Jakarta, Sabtu (25/2/2017).
Politisi Golkar ini meragukan langkah serius PT Freeport membawa kasus sengketa bisnis Indonesia-Amerika dalam menangani bisnis tambang emas di Indonesia.
“Kemungkinan untuk arbitase dari sisi bisnis, di mana di dunia usaha tidak suka berperkara, mereka lebih suka berbisnis. Saya tidak yakin Freeport, tidak menuju ke sana karena begitu arbitrase dielus negara meski akan menang atau kalah. Konsekuensinya di tahun 2021 tidak mungkin diperpanjang kontraknya,” jelas Setya.
Meski demikian, Setya menyampaikan kontribusi Freeport pada Indonesia yang bisa dirasakan manfaat secara langsung seperti pajak, royalti pembayaran yang lainnya.
“Di tahun 2015 (pemasukan untuk Indonesia) dari PT Freeport Indonesja sebesar 368 juta USS. Jadi kira-kira sekitar 5 trilyun di tahun 2015 itu ke negara. Jadi tidak serta merta ke Papua walaupun manfaat tidak langsung seperti pembayaran gaji karyawan, pengembang masyarakat ditahun 2015 sekitar 3 miliar USD,” ujarnya.
“Kalau kita melihat kontribusi Freeport di tahun 2015 sekitar 5 trilyun. Sementara dana Otsus yang diberikan oleh pemerintah untuk APBN 2017 ini untuk otsus 5,4 triliun ditambah dana infrastruktur 2,4. Jadi sekitar 8 triliun yang digelontorkan pemerintah pusat untuk Papua bisa dibayangkan pemerintah pusat kontribusi segitu banyak,” jelas Setya.
Sebagai informasi, 10 Februari 2017 lalu, pemerintah telah menyodorkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada Freeport sebagai pengganti Kontrak Karya (KK). Bila Freeport tak mau menerima IUPK, itu artinya perushaan milik Amerika itu tak bisa mengekspor konsentrat tembaga dan semacamnya.
Dalam KK pemerintah dan Freeport memposisikan diri sebagai pihak yang setara. Ini untuk memperkuat kedaulatan NKRI dalam penguasan negara terhadap kekayaan alam.
Namun, lagi-lagi Freeport tak mau mengubah KK-nya menjadi IUPK. Alasannya, IUPK tak memberikan kepastian dari segi pajak bisa berubah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (prevailing).
Sementara KK nilai pajaknya tak akan berubah hingga masa kontrak berakhir (naildown). Ini yang diingkan Amerika ingin mengerus harta kekayaan Indonesia. (Johan Bahdi Putra)