Ini Alasan Modernisasi Alutsista, Kini atau Tidak Sama Sekali!
JAKARTA – Letjen TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin menilai waktu yang tepat melakukan modernisasi di Indonesia adalah saat ini. Menurut Sjafrie, jika momentum itu tak ditempuh oleh Pemerintah maka akan sulit mewujudkannya di masa-masa akan datang.
Wakil Menteri Pertahanan di tahun ini mengutip pesan Proklamator dan Presiden Soekarno, yang mengatakan di saat pertumbuhan ekonomi sangat rendah, sejatinya menentukan sikap mempertahankan ideologi negara dan membangun kekuatan militer.
“Makna inilah yang menjadi motivasi kita membangun kekuatan militer sebagai alat pertahanan negara,” kata Sjafrie Sjamsoeddin pada website pribadinya, Jakarta, Jumat (3/11/2017).
Baginya, tiap terjadi musibah alutsista yang menyebabkan gugurnya prajurit TNI, memberikan sengatan kepada Kementerian Pertahanan dan TNI. Apalagi jika itu terkait dengan kondisi alat utama sistem persenjataan yang dinilai tidak sesuai dengan tantangan zaman.
Sebab, lanjutnya, tidak mudah memang menghasilkan prajurit andal yang memerlukan biaya sangat tinggi. Dalam dua dekade terakhir tidak mungkin pemerintah melakukan modernisasi alutsista karena krisis keuangan yang sulit untuk modernisasi sistem pertahanan negara.
“Kini ketika kondisi perekonomian negara mulai membaik, sepantasnya apabila kita memperhatikan kebutuhan alutsista bagi ketiga angkatan. Keputusan politik negara yang disepakati oleh Dewan Perwakilan Rakyat memungkinkan kita untuk menaikkan anggaran pertahanan dari semula 0,7 persen dari produk domestik bruto menjadi di atas 1 persen dari PDB,” paparnya.
“Sejak 2010 hingga tahun 2014, Kementerian Pertahanan diberikan porsi anggaran sebesar Rp 150 triliun untuk memodernisasi persenjataan bagi TNI. Anggaran tersebut sudah ditetapkan untuk dipergunakan memperkuat matra darat, laut dan udara,” sambungnya.
Selain itu, Sjafrie menjelaskan, kita tidak berniat untuk membangun kekuatan angkatan perang yang besar. Namun kita harus memiliki minimum essential forces yang punya mobilitas tinggi dan daya pukul yang dahsyat.
Apalagi terangnya, Indonesia sebagai negara yang berada dalam posisi silang strategis, mutlak memiliki kekuatan militer yang setara dan seimbang dengan negara lain sejalan dengan perkembangan teknologi militer yang dikenal dengan Revolution in Military Affair. Itu tidak dapat dihindari yang sudah merupakan tuntutan dan tantangan yang perlu direspon oleh negara dalam memformulasikan postur pertahanan yang didalamnya ada postur TNI.
“Memang kadang muncul pertanyaan, apakah perlu kita melakukan modernisasi alutsista? Pertanyaan itu muncul karena menganggap bahwa tidak mungkin lagi akan ada perang,” ungkapnya.
Pria berdarah Bugis itu mengingatkan, tidak mungkin ada negara yang menunggu terjadinya perang, baru kemudian mempersiapkan angkatan perang mereka. Sebab, membangun sistem pertahanan negara tidak bisa dilakukan seketika, tetapi harus dilakukan secara sistematis dan bertahap sesuai dengan postur sistem pertahanan yang diinginkan.
“Kita mengenal prinsip “si vis pacem para bellum”, apabila kita menginginkan perdamaian, maka kita harus siap berperang. Hendaknya jangan difahami berlebihan, melainkan suatu langkah strategis yang proporsional untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah kita yang menjadi opsi formulasi pembangunan kekuatan pertahanan,” aku Sjafrie.
Di mana salah satu inti Pembukaan UUD 1945 secara jelas memberi tugas kepada pemerintah untuk menjaga keutuhan wilayah, kedaulatan negara, dan keselamatan bangsa melalui alat pertahanan negaranya. Perintah itu diterjemahkan dengan membangun kekuatan militer yang memiliki mobilitas tinggi dalam melakukan daya tangkal dan daya pukul.
“Kita pantas bersyukur bahwa sepanjang reformasi kita telah mampu merevitalisasi industri pertahanan. Saat ini industri pertahanan dalam negeri telah bangkit kembali dengan kemampuan produksi kendaraan tempur dan pesawat angkut sedang maupun kapal patroli,” pungkas Sjafrie. (HMS)