Instruksi PDIP Tunda Retreat hanya Manuver Politik sebagai Oposisi Simbolis

JAKARTA – Keputusan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) untuk melarang kepala daerahnya mengikuti retreat pemerintahan Prabowo Subianto di Akademi Militer (Akmil) Magelang pada 21-28 Februari 2025 menuai sorotan.
Direktur Merah Putih Stratejik Institut (MPSI), Noor Azhari, menilai langkah ini sebagai bagian dari oposisi simbolis PDI-P, yang lebih bertujuan memperkuat citra politiknya dibanding memberikan pengaruh nyata terhadap kebijakan pemerintahan.
“Kita ketahui Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri secara resmi mengeluarkan Surat Instruksi No. 7294/IN/DPP/II/2025 pada 20 Februari 2025, yang memerintahkan seluruh kepala daerah dan wakil kepala daerah PDI-P untuk menunda keikutsertaan dalam retreat tersebut. Ini hanya langkah oposisi simbolis belaka yang mempertegas citra politik saja”, kata Noor Azhari dalam keterangan tertulisnya.
Menurutnya, instruksi ini dikeluarkan di tengah dinamika politik yang memanas, terutama setelah penahanan Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristiyanto, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada hari yang sama. Hasto ditahan terkait kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR dan perintangan penyidikan dalam kasus Harun Masiku.
“Langkah PDI-P ini dinilai sebagai bentuk penegasan posisi politiknya sebagai oposisi tunggal dalam parlemen, mengingat partai ini adalah satu-satunya kekuatan di luar Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus) yang menguasai 470 dari 580 kursi DPR. Dengan memiliki 110 kursi atau 18,97%, PDI-P berupaya mempertahankan daya tawarnya meskipun tidak dapat secara langsung menghambat agenda legislasi pemerintah”, urainya.
Ia menilai, larangan bagi kepala daerah asal PDI-P yang dilantik oleh Presiden Prabowo secara langsung di Istana Negara Jakarta, lebih bersifat simbolis daripada substansial.
“Keputusan ini menjadi sinyal kepada pemerintah bahwa PDI-P masih memiliki kontrol kuat atas kadernya di daerah, serta sebagai bentuk perlawanan terhadap dinamika politik yang berkembang, terutama pasca-Pilpres 2024 yang memperlihatkan hubungan yang semakin renggang antara PDI-P dan mantan Presiden Joko Widodo”, jelasnya.
Ia melanjutkan, sejak awal pemerintahan Prabowo pada Oktober 2024, PDI-P telah menyatakan diri sebagai oposisi. Pernyataan Hasto Kristiyanto pada November 2024 menegaskan bahwa partai ini akan menjadi “penyeimbang” dalam menjaga demokrasi.
“Namun, oposisi yang dilakukan PDI-P lebih terukur dibandingkan gaya kritik keras pada pemerintahan sebelumnya. Hal ini terlihat dari cara PDI-P menyampaikan kritik terhadap kebijakan ekonomi dan struktur kabinet Prabowo yang dinilai terlalu besar, sambil tetap menjaga komunikasi politik di berbagai lini”, katanya.
Bagunya, meskipun mengambil sikap oposisi, PDI-P menghadapi tantangan besar di tengah tekanan politik dan hukum.
“Sentimen publik terhadap partai ini juga tengah diuji dengan berbagai isu, termasuk kasus korupsi yang menjerat kadernya. Beberapa pihak menilai, langkah menolak retreat kepala daerah ini lebih bertujuan untuk menjaga solidaritas internal partai dan menghindari persepsi bahwa PDI-P mulai melunak terhadap pemerintahan Prabowo,” tandasnya.
Ia juga menyoroti dinamika politik yang berkembang di lingkup pemerintahan Prabowo, terutama potensi konflik internal di dalam KIM Plus antara Partai Gerindra dan Golkar. Di sisi lain, strategi PDI-P dalam membangun narasi oposisi juga bisa menjadi faktor yang memengaruhi stabilitas politik nasional.
“Dengan kondisi ini, Presiden Prabowo dihadapkan pada pilihan strategis untuk mempertahankan soliditas koalisinya sekaligus mengelola hubungan dengan PDI-P agar tidak berkembang menjadi oposisi yang lebih agresif,” pungkasnya.