‘Isu Larangan Pakai Cadar di UIN hanya Memecah Persatuan Islam’

 ‘Isu Larangan Pakai Cadar di UIN hanya Memecah Persatuan Islam’

ilustrasi cadar

JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta kepada semua pihak untuk menahan diri dan tidak menjadikan isu penggunaan cadar oleh mahasiswi UIN Sunan Kalijaga (SUKA) sebagai alat untuk saling mendiskreditkan dan menyalahkan antarkelompok pandangan keagamaan di masyarakat.

“Karena dikhawatirkan dapat memecah belah persatuan dan kesatuan umat Islam,” kata Wakil Ketua Umum MUI zainZa Tauhid Sa’adi seperti keterangan tertulisnya diterima wartawan, Jumat (9/3/2018).

MUI menilai bahwa masalah pemakaian cadar bagi seorang muslimah sebagai syarat dan kewajiban untuk menutup aurat adalah masalah cabang dalam agama (furu’iyyat), yang dalam berbagai pendapat para ulama tidak ditemukan adanya kesepahaman (mukhtalaf fihi).

Karena, lanjut Zainut, masih terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama (khilafiyah), untuk hal tersebut hendaknya semua pihak dapat menerima perbedaan pandangan tersebut sebagai khazanah pemikiran Islam yang
dinamis dan menjadikan rahmat bagi umat Islam yang harus disyukuri bukan justru diingkari.

“MUI menilai ada kesalahpahaman sementara pihak yang mengaitkan masalah radikalisme dengan pemakaian cadar, celana cingkrang (isybal) dan potongan jenggot dari seseorang. Pandangan tersebut sangat tidak tepat,” paparnya.

Menurut Politisi PPP ini, radikalisme itu tidak hanya diukur melalui simbol-simbol asesoris belaka seperti cadar, celana cingkrang (isybal) dan potongan jenggotnya, tetapi lebih pada pemahaman ajaran agamanya. Sehingga kurang tepat jika karena alasan ingin menangkal ajaran radikalisme di kampus kemudian melarang mahasiswi memakai cadar.

“Saya khawatir setelah larangan itu kemudian disusul dengan larangan berikutnya yaitu larangan mahasiswa yg memakai celana cingkrang dan berjenggot,” ujar Anggota Komisi IV DPR RI ini.

Zainut mengusulkan, untuk menangkal ajaran radikalisme harus melalui pendekatan yang lebih komprehensif, baik melalui pendekatan persuasif, edukatif maupun konseling keagamaan yang intensif.

Untuk itu, MUI meminta kepada semua pihak hendaknya menempatkan masalah ini sebagai sesuatu hal yang wajar, proporsional dan tidak perlu dibesar-besarkan. Menyerahkan sepenuhnya kepada pihak rektorat UIN SUKA yang memiliki otoritas dan kewenangan mengatur kampusnya, baik melalui berbagai penerapan peraturan yang tidak bertentangan dengan nilai agama, norma susila dan undang-undang yang ada. Maupun melalui berbagai pendekatan dan solusi yang komprehensif, maslahat dan bermartabat.

“MUI yakin bahwa kita semuanya tidak berharap bahwa kampus menjadi sarang penyebaran paham radikalisme, liberalisme, dan tempat yang menanamkan sikap phobia terhadap agama Islam. Tetapi kita semuanya berharap bahwa kampus menjadi tempat persemaian nilai-nilai ajaran Islam yang moderat (wasathiyah) dan Islam yang rahmatan lil alamiin,” pungkasnya. (HMS)

 

Facebook Comments Box