Jelang Paripurna DPR RUU Pemilu: Pertaruhan Jangka Pendek Pembentuk UU
JAKARTA – Koalisi Kawal RUU Pemilu menyimpulkan, jika tidak ada perubahan, besok (20/7) DPR mengambilan keputusan akhir terhadap RUU Pemilu. Secara spesifik, paripurna dijadwalkan hanya akan membahas lima isu krusial dari RUU Pemilu yang belum tuntas untuk disepakati.
Seperti diberitakan sebelumnya, lima isu krusial itu yakni, soal Sistem Pemilu Legislatif, Ambang Batas Pencalonan Presiden, Parliamentry Threshold, Metode Konversi Suara Menjadi Kursi, dan Besaran Daerah Pemilihan.
Adapun Koalisi Kawal RUU Pemilu yakni Fadli Ramadhanil (Perludem), Almas Sjafrina (ICW), Hadar Nafis Gumay (Correct), Feri Amsari (Pusako Undalas) dan Sunanto (JPPR).
Seperti rilis yang diterima lintasparlemen.com, mereka menyimpulkan bahwa DPR dan Pemerintah relatif sudah hampir sepakat terkait dengan sistem pemilu legislatif dengan proporsional daftar terbuka, dan parliementary treshold dengan angka 4 persen.
“Perbedaan yang sangat cukup tajam masih terjadi untuk ambang batas pencalonan presiden dan metode konversi suara menjadi kursi, berikut dengan besaran daerah pemilihan,” ujarnya.
“Pemerintah dan mayoritas partai politik pendukungnya menginginkan masih adanya ambang batas pencalonan presiden sebesar 20% kursi atau 25% suara sah nasional. Padahal, ambang batas pencalonan presiden jelas sebuah keniscayaan untuk dihapuskan dalam konsep pemilu serentak,” paparnya.
Argumentasi sederhananya, lanjutnya, tidak ada basis angka hasil pemilu legislatif yang bisa dijadikan dasar untuk prasyarat pencalona presiden, karena pemilunya dilaksanakan secara serentak.
Sebagaimana Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Pemilu 2019 akan dilaksanakan secara serentak, di mana Pemilihan DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD akan dilaksanakan diwaktu yang bersamaan.
“Hal ini juga kemudian yang membawa ketentuan ambang batas pencalonan presiden bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945, yang menjamin hak setiap partai politik peserta pemilu bisa mengajukan pasangan calon presiden,” terangnya.
Menurut mereka, secara kontitusional dan secara politik ketentuan ambang batas pencalonan presiden juga akan menimbulkan banyak potensi. Pertama, Presiden Jokowi akan dianggap membatasi kesempatan partai atau warga negara lain bisa maju menjadi pasangan calon presiden dengan membuat ketentuan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah pemilu nasional.
“Kedua, ketentuan ambang batas pencalonan presiden ini juga berpotensi akan menyulitkan Presiden Jokowi sendiri jika nanti mencalonkan diri kembali menjadi presiden periode 2019-2024. Presiden Jokowi harus berusaha untuk mengumpulkan dukungan politik sebesar 20% kursi atau 25% suara sah nasional. Tidak ada yang bisa menjamin, bahwa Presiden Jokowi akan dengan mudah mengumpulkan syarat dukungan pencalonan presiden senilai 20% kursi parlemen atau 25% suara sah pemilu nasional,” bebernya.
Terakhir, lanjutnya, perdebatan dalam pembahasan RUU Pemilu ini secara jelas memperlihatkan kepada publik, bahwa RUU Pemilu yang sedang dibahas hanyalah untuk kepentingan jangka pendek para pembentuk UU, khususnya partai politik peserta pemilu di DPR. Tidak ada perdebatan tajam nan serius, untuk membangun sebuah sistem elektoral yang jauh lebih kuat, berkeadilan, dan demokratis berdasarkan pengalaman pemilu dan proses elektoral sebelumnya.
“Salah satunya adalah, naiknya jumlah minimal sumbangan dana kampanye kepada peserta pemilu, tidak diiringi dengan pengaturan akuntabilitas, transparansi, pemgawasan, penegakan hukum, dan sanksi kepada peserta pemilu yang melanggar,” tutupnya. (HMS)