#Kaburajadulu #Indonesiagelap, Mengapa Bikin Risau Penguasa?

Dua topik hangat ini menimbulkan respons dan atensi dari pemerintah Prabowo. Noel, Wamenker, di antara yang cepat merespon, tapi dengan nada kurang pengertian. Padahal Noel juga tidak jauh-jauh amat dari bagian kelas yang menyuarakan sikap #kaburaja dulu itu, sehingga harusnya dia dapat mengerti betapa memang kehidupan dunia kerja saat ini kurang menggairahkan dari segi peluang, gaji, prospek pengembangan karir dan masa depan bila dibandingkan dengan Singapura, Vietnam, atau Malaysia.
Noel kan berasal dari kalangan aktivis biasa yang bukan berasal dari kelas atas. Kalau kelas atas seperti Erick Tohir, tentu maklum tidak merasakan betapa pahitnya jika tidak punya uang, pekerjaan yang tidak layak dan karir yang tidak jelas. Noel mungkin mendadak disergap rasa jetlag setelah memiliki gaji besar dan berlimpah sumber uang dan kekuasaan setelah menjadi wamenker sehingga tidak mampu lagi menjembatani perasaan anak-anak muda sekarang dengan situasi yang dihadapi hari ini akibat ugal-ugalannya kebijakan ekonomi Jokowi yang diwarisi pemerintah sekarang.
Saat dengungan ajakan #kaburajadulu belum berhenti, sekarang muncul gema #indonesiagelap yang juga sebenarnya berasal dari kelas menengah ke bawah. Kelas menengah ke bawah inilah yang memang di antara yang jadi korban oleh kebijakan ekonomi dan politik Jokowi yang memanjakan kelas atas dan super atas tetapi menjebak kelas paling bawah ke dalam pengemis dan penanti kemurahan hati penguasa dan orang-orang kaya yang suka memanfaatkan mereka. Kelas menengah ke bawah ini serasa dibiarkan terkuras dan terlindas oleh keserakahan kelas atas dan super atas yang mengekspansi modalnya tapi tidak terlalu bergantung sumber daya insani kepada kelas menengah ke bawah, akibat melimpahnya pasar tenaga kerja baik dari luar maupun dari dalam negeri sendiri.
Memang harus diterima kenyataan sekarang ini, bahwa kehidupan ekonomi kelas menengah ke bawah lagi payah dan rentan. Bahkan secara nasional pun hal itu terkonfirmasi oleh pemerintah sendiri yang menggeser kebijakan ekonomi kepada penghematan belanja pemerintah di sektor-sektor tertentu. Tampaknya bukan menghemat belanja, tapi menggeser alokasi belanja kepada sektor-sektor prioritas bagi pemerintahan sekarang.
Sekarang tekanan dari civil society yaitu mahasiswa sudah mulai menggeliat lagi. Ini juga pertanda makin terasanya bagi rakyat-banyak ketidakpuasan dan kelesuan hidup dimana negara belum menampakkan daya tanggap dan kehadirannya yang nyata untuk bersama-sama mengatasi kesusahan rakyat. Mahasiswa memang selalu mendasarkan aksi dan pergerakannya pada sentimen kesusahan rakyat, karena di situlah letak legitimasi mereka. Biarkan saja mahasiswa menumpahkan aspirasi mereka di jalanan secara ekstra parlementer, supaya bagian-bagian dari struktur pemerintahan Prabowo ketahuan mana yang responsif positif dan mana yang reaktif negatif. Keluhan mahasiswa tersebut harusnya direspons dengan memberikan mereka penyaluran dialog pemikiran yang konstruktif guna diserap oleh pemerintahan Prabowo.
Entah kenapa memang, lembaga DPR selalu saja disfungsional menyalurkan suasana batin masyarakat pada umumnya. DPR memang tidak mungkin bisa diharap menjadi penyeimbang kekuasaan eksekutif di tengah hasrat Presiden yang ingin menggabungkan koalisi partai menjadi pendukung permanen dengan imbas yang jelas: sirnanya oposisi. Ditambah lagi, pada hakikatnya, anggota DPR tak lebih daripada anak buah yang membeo kepada ketua umum-ketua umum partai. DPR dengan sistem sekarang tidak mungkin diharapkan berfungsi sebagai Trias Politika yang setara dengan Presiden. Itulah sebabnya, kekuatan ekstraparlementer seperti gerakan mahasiswa akan selalu dinanti oleh rakyat untuk menyalurkan aspirasi rakyat yang sebenarnya.
Jadi kalau demikian adanya, buat apa ya…DPR yang dipilih dan dibelanjai oleh rakyat melalui pajak yang dipungut oleh negara dengan biaya yang besar itu? Sebab, tidak akan mungkin seorang anggota DPR menyuarakan pendapat di luar pendapat dan restu ketua umum partai mereka, sedangkan sebagian ketua umum mereka berada sebagai anak buah Presiden sebagai pimpinan puncak eksekutif, seperti Zulkipli Hasan, Muhaimin Iskandar, dan seterusnya. Rasanya saya tiba-tiba menjadi ditololkan dengan kenyataan ini.