Keadaan Indonesia dan Dunia Saat Ini dan Kemungkinan Sejarah Berulang

Adalah hikmah dari ilmu sejarah bahwa kita mengetahui sejarah selalu berulang bagaikan siklus kehidupan: kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan, menua dan melemah, dan kemudian luruh dan mati hingga lenyap. Kadangkala nasib setiap kaum dan negara, berbeda durasi waktu saja pada setiap fasetnya, namun rangkaian faset kehidupan tersebut tetaplah sama.
Marilah kita sekarang tinjau Indonesia sebagai sebuah kaum dan negara dalam konteksnya terhadap faset perkembangan dunia.
Saat ini, keadaan dunia mengingatkan kita pada masa-masa pra peralihan dari era imperialisme Inggris, Belanda, Prancis, Italia, Portugis, Amerika Serikat, dll terhadap dunia menuju terbentuknya konsolidasi kekuasaan global baru secara hirarkis dalam bentuk United Nations Organization (UNO) atau PBB. Namun sebelum terbentuknya PBB tersebut dengan Dewan Keamanannya yang kuat serta lembaga-lembaga seperti Bank Dunia, IMF, WHO dan sebagainya itu, terlebih dahulu dunia harus mengalami penderitaan dan peperangan yang memakan korban yang luar biasa. Itulah zaman dimana naik pasangnya fasisme atau kesewenang-wenangan yang dipelopori oleh Jerman dengan Hitlernya, Musollini dengan Italianya, lalu di Asia Timur oleh Jepang yang kepala batu beriringan dengan meluasnya kelesuan ekonomi global (malaise) yang akhirnya menuju perang dunia kedua.
Saat ini, dapat dikatakan Netanyahu dan Donald Trump telah memainkan peran laiknya Hitler yang haus kekuasaan dan berambisi untuk melenyapkan Palestina, dan syukur-syukur dapat meraih momentum untuk memperluas wilayahnya hingga mencakup antara Sungai Tigris dan Sungai Eufrat. Trump sendiri berhasrat untuk mengendalikan permainan geopolitik di tengah naiknya pengaruh China dan Iran serta Rusia.
Keadaan Amerika Serikat ini mirip dengan Inggris di masa silam di tengah meningkatnya pengaruh USSR sebagai adidaya komunis anti imperialisme yang terus menggerogoti tentakel imperialisme lama saat itu sehingga menekan negara-negara seperti Inggris melepaskan pengaruhnya satu per satu di berbagai belahan dunia. Kesamaan yang terlihat saat ini, bahwa Amerika Serikat mulai berkurang pengaruhnya terhadap negara-negara Arab sebagaimana dulu Inggris berkurang satu persatu kekuasaannya terhadap negara jajahannya. Apakah kelak, Rusia justru juga memerankan USSR yang bergabung pada sekutu melawan fasis?
Adalah fakta saat ini, lembaga-lembaga PBB sudah tidak seberwibawa dan sekuat zaman saat Amerika Serikat belum keluar dari WHO dan Donald Trump I belum berkuasa. Akibatnya, setiap negara berlomba memperkuat militernya masing-masing dan tidak lagi mempertaruhkan keamanannya terhadap PBB.
Sejak China menjadi anggota WTO, perang dagang antar China dan Amerika pun terbuka dengan posisi seimbang. Ditambah lagi ketika China berhasil mengkonsolidasikan negara-negara pendukungnya dengan skema bantuan ekonomi dan infrastruktur lewat rancangan raksasa Belt and Road Inisiative yang menghidupkan imajinasi dan memori jalur sutra.
Adapun Indonesia, telah terimplikasi dan terimbas oleh ketegangan persaingan dunia tersebut yang bukan tidak mungkin akan dapat menjadi salah satu medan perang jika konflik militer meledak, sebagaimana pernah terjadi di masa lalu ketika Jepang memutuskan menginvasi wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Inggris, Amerika, Prancis, Belanda di Asia Tenggara. Tujuan Jepang ialah menendang negara-negara non poros dari Asia sekaligus kesempatan bagi Jepang untuk mengkonsolidasikan Asia di bawah pengaruh dan kontrol Jepang serta sekutu fasisnya. Di luar yang diperkirakan oleh Jepang, kelompok poros ini kalah secara politik dan militer. Kampanye Jepang untuk mensolidkan dukungan rakyat di wilayah yang baru dia rebut, tidak cukup waktu untuk dimatangkan, sehingga biar pun di Hindia Belanda misalnya, telah terkonsolidasi MIAI, Peta, Heiho, dan kelompok-kelompok politik anti Belanda yang beralih menjadi pro Jepang, tapi ketika Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh Amerika Serikat yang memaksa Jepang menyerah, maka kelompok-kelompok pro Jepang tersebut secara cepat memanfaatkan situasi untuk menentukan nasib sendiri (keuntungan takdir sejarah).
Kalau kita asumsikan China dewasa ini menggantikan peran Jepang di masa perang dunia kedua, maka siapakah yang akan muncul menjadi subjek dalam keuntungan takdir sejarah tersebut di negeri ini nanti?
Tapi yang pasti, saat ini zaman malaise atau kelesuan perekonomian dunia makin terasa dan dapat secara cepat mempengaruhi instabilitas politik seperti yang dirasakan Hindia Belanda. Apalagi kita melihat, saat ini setiap kekuatan politik berusaha memanfaatkan situasi guna memperbesar pengaruhnya dan sekaligus mendeligitimasi pesaing politiknya.
Delegitimasi wibawa Jokowi dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming yang memunculkan subjek para purnawirawan senior militer, hendaknya dapat dicermati dengan penuh kewaspadaan. Hendak kemana arahnya dan dapatkah keadaan sekarang ini dimanipulasi dan dimanfaatkan oleh kekuatan yang lebih kuat untuk kepentingan strategis mereka, masih menjadi pertanyaan. Dan the last but not least, bagaimana dan apa yang harus dilakukan kekuatan rakyat dalam situasi kebimbangan global dan nasional dewasa ini, hendaknya jangan dilupakan.