Kebangkitan Nusantara, Darimana Dimulai?
Adakah kemungkinan bangkitnya Indonesia sebagai kekuatan yang mandiri dan berpengaruh ke seluruh dunia sebagaimana yang diraih China sekarang ini? Menurut saya kemungkinan itu tersedia dengan luas, jika soliditas dan solidaritas nasional terbina dan termenej dengan baik di bawah kepemimpinan yang diakui dan diikuti secara solid dan rasional.
Tapi darimana dimulai? Menurut hemat penulis, pendekatan ekonomi tidak melulu dapat diandalkan sebagai satu-satunya pengungkit kebangkitan nusantara. Apalagi jika karakteristik ekonomi yang diandalkan berupa industri yang menggantungkan teknologi dan bahan bakunya dari luar negeri dan diproduksi bukan oleh rakyat sendiri dan bukan milik rakyat Indonesia. Ditambah lagi, dari segi kepemilikan saham, hanya menumpuk pada keluarga tertentu, bukan suatu kepemilikan yang menyebar dan terdistribusi.
Gaya industri dan ekonomi semacam digambarkan di atas, tidak akan memberikan efek membangkitkan sama sekali, dan hanya membuat rakyat hanya terpaksa menjalankan pekerjaan rutin dan tidak memiliki daya ungkit munculnya kreativitas dan semangat untuk maju dan membesarkan diri secara bersama-sama dan serentak. Bukankah demikian pola industri dan ekonomi Indonesia selama ini?
Sebagaimana yang dikemukakan oleh penulis pada “Dapatkah 2045, Indonesia Sabagai Salah Satu Kiblat Dunia?”, kebangkitan Nusantara dalam hal ini, spesifik Indonesia, hanya dapat terjadi manakala negara ini menyadari prospek keunggulan komparatifnya dan sekaligus mendayagunakannya untuk kemandirian dan penyebaran pengaruh ekonomi, politik dan budayanya.
Keunggulan komparatif yang tidak banyak dimiliki oleh selain Indonesia ialah kekayaan sumberdaya hayatinya, termasuk barang-barang galian dan tambang, lokasi wilayah, iklim dan sumberdaya manusianya yang tidak melulu dipandang dari sudut pandang tenaga kerja industri.
Sejauh ini, kenyataan industri Indonesia masih mengikuti pola negara-negara industri dan berorientasi kebutuhan pasar dunia. Akibatnya, ketergantungan bahan baku dari luar negeri dan teknologi, nyaris tidak terjadi koreksi signifikan yang mengarah kepada kemandirian teknologi dan industri Indonesia.
Tetapi memang terdapat semacam kebijakan yang melestarikan ketergantungan bahan baku, mesin-mesin-mesin dan teknologi guna keuntungan perusahaan. Contohnya, fabrik mie instan. Bahan baku gandum terus menerus diimpor dari luar negeri dan mesin-mesinnya didatangkan dan dilayani oleh luar negeri, yang secara politis menguntungkan perusahaan mie instan untuk menggelantung kepentingan antara berbagai negara dan kepada Indonesia sendiri. Negara eksportir gandum yang diserap oleh pabrik-pabrik mie instan besutan dari Indonesia, memiliki kepentingan untuk menjaga kesinambungan ekspor gandumnya guna pemasukan negaranya dan juga kepentingan pertaniannya. Demikianlah juga produsen-produsen mesin, memerlukan import dari pabrik-pabrik mie instan, guna penjualan dan peningkatan teknologi mereka.
Sementara pengusaha mie instan mengoperasikan buruh-buruh yang murah dan mencampurkan komponen lokal terhadap produknya hanya untuk menjaga kelangsungan usaha dan posisi tawar kepada pemerintah dan popularitas terhadap pasar utama, yaitu lokal. Nyaris semua gaya industri yang berpasar massal memiliki gaya yang mirip seperti industri mie instan, yaitu dengan menggelantung di antara kepentingan luar negeri dan kepentingan pemerintah Indonesia. Terutama ketergantungan atas mesin-mesin, layanan after market sales, konsultansi, dan sebagainya. Tujuannya jelas untuk kepentingan sendiri dan posisi tawar perusahaan yang bersangkutan.
Hal semacam ini, tidak mungkin dibiarkan dan dilestarikan jika hendak mencapai posisi kebangkitan nusantara. Bahan baku lokal dan teknologi hasil kreasi anak bangsa harus diserap secara total, dan harus pula dipacu sebagai alternatif zona nyaman yang dinikmati para pengusaha besar selama ini di Indonesia. Barulah mungkin akan terlihat “hilal” bagi bangkitnya Nusantara sebagai salah satu kiblat negara-negara di Asia dan Afrika yang gandrung untuk maju.
Sejurus dengan hal itu, harus ditopang juga suatu badan yang menangani suprastruktur melampaui politik dan tidak sekadar model Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). BPIP sejauh ini memilki karakteristik reaksioner dan mengarah kepada urusan kognitif semata. Adapun kebangkitan itu sendiri merupakan kerja mental, moral dan spritual dari manusia. Karena itu diperlukan suatu badan yang bertanggungjawab melakukan pembinaaan mental, moral dan spritual rakyat nusantara. Tentu tidak saatnya di sini untuk merinci keberadaan badan tersebut. Ini hanya sekedar menggambarkan, bahwa di tengah upaya pembangkitan basisstruktur Nusantara, jangan lupa pembangkitan suprastrukturnya pula, agar berlangsung simultan dan paralel.
Bhre Wira, penulis independen