Keinginan PDIP, Golkar dan Nasdem tentang Presidential Treshold Tidak Punya Dasar Konstitusional

 Keinginan PDIP, Golkar dan Nasdem tentang Presidential Treshold Tidak Punya Dasar Konstitusional

Ahli Hukum Tata Negara dan Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Izha Mahendra

Oleh: Yusril Ihza Mahendra, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB)

Ketua Pansus RUU Pemilu, Lukman Eddy mengatakan bahwa mayoritas fraksi DPR RI menghendaki agar dalam Pilpres 2019 mendatang tidak ada lagi Presidential Treshold atau PT karena Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden akan dilaksanakan serentak.

Namun ada tiga fraksi yakni PDIP, Golkar dan Nasdem yang tetap menginginkan adanya PT 20 – 25 persen seperti Pilpres yang lalu.

Dalam Pilpres yang lalu, yang dilakukan terpisah antara Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif, maka tidak semua partai atau gabungan partai boleh mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Mereka baru dapat mengajukan padangan calon jika memenuhi syarat PT 20 persen kursi DPR.

Ketentuan adanya PT ini dimaksudkan untuk membatasi jumlah calon dan juga dimaksudkan agar jika terpilih, pasangan Presiden mempunyai basis pendukung yang ril di DPR.

Sebab, menurut pendukung adanya PT ini, Presiden dengan DPR harus bekerasama dengan erat dalam menyusun APBN dan membahas setiap rancangan undang-undang.

Dengan Pemilu serentak, maka penggunaan PT menjadi mustahil. Bagaimana bisa mendapatkan jumlah memenuhi syarat PT kalau Pileg dan Pilpres dilakukan serentak pada hari yang sama?

Dalam menghadapi situasi ini, Mendagri Tjahjo Kumolo yang didukung oleh PDIP, Golkar dan Nasdem mengatakan bahwa PT yang digunakan adala PT yang didapat partai-partai dalam Pemilu sebelumnya, yakni Pemilu 2014.

Apa alasan konstitusional menggunakan PT Pemilu sebelumnya itu, tidak pernah dijelaskan Mendagri Tjahjo dan partai pendukungnya. Saya sendiri menolak pendapat ini karena saya anggap bertentangan dengan UUD 1945

. Pasal 22 E UUD 45 dengan tegas mengatur bahwa pasangan calon Presiden dan Cawapres diusulkan (dicalonkan) oleh partai politik peserta pemilu, sebelum Pemilu dilaksanakan.

Jadi sebelum pemilu serentak itu dilaksanakan, maka setiap partai atau gabungan partai peserta pemilu dapat mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Meskipun ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan Pilpres akan diatur dengan undang-undang, namun undang-undang yang dibuat, tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur oleh UUD 45 seperti saya terangkan tadi.

Selain bertentangan dengan UUD 45, keinginan tetap adanya PT dalam Pemilu 2019, kalau dimaksudkan agar Presiden terpilih mempunyai dukungan kuat dari DPR, juga tidak beralasan. Kalau syarat PT adalah 20 persen seperti Pemilu 2014, maka dapat diasumsikan bahwa hanya yang 20 persen itu saja yang mendukung Presiden, sementara yang 80 persen selebihnya tidak mendukung.

Hal seperti di atas terjadi juga pada Presiden Jokowi. Ketika baru terpilih, Jokowi nampak kesulitan menghadapi DPR yang tidak mendukung dirinya secara mayoritas. Jokowi terpaksa harus mencari dukungan dari partai-partai lain di parlemen, di luar partai yang mencalonkannya dalan Pilpres 2014.

Upaya ini menyebabkan terjadinya perpecahan dalam koalisi partai yang dulu mendukung pencalonan Prabowo Subojanto. Ini menunjukkan bahwa dukungan 20 persen yang dijadikan patokan PT itu sebenarnya tidak banyak gunanya dalam upaya Presiden mendapatkab dukungan mayoritas di DPR.

Alasan selanjutnya adalah adanya PT dimaksud untuk membatasi pasangan calon Presiden dan Wapres. Pertanyaannya: untuk apa dibatasi? Pemilihan Kepala Desa dan Pilkada juga tidak dibatasi. Peserta Pilkades lebih 10 calon adalah biasa.

Pilkada jika ditambah dengan calon independen jumlahnya juga bisa lebih 10 pasang. Biasa saja. Jadi mengapa Mendagri Tjahjo, PDIP, Golkar dan Nasdem takut kalau ada banyak pasangan Capres?

Padahal, kalau diamati kesiapan menghadapi Pemilu 2019, perkiraan saya partai peserta Pemilu nanti hanya sekitar 14 atau 15 partai saja plus 3 partai lokal di Aceh. Jadi jumlah Capres tidak akan lebih 15, kurang dari 15 bisa terjadi karena mungkin ada partai-partai yang bergabung.

Namun lebih dari 15 adalah mustahil. Walaupun nanti ada 15 pasang, tokh yang menentukan adalah putaran kedua. Jadi 15 pasang atau 3 pasang akan sama saja dilihat dari sudut teknis pelaksanaan Pemilu, karena yang menentukan adalah putaran kedua yang hanya akan diikuti dua pasangan calon. Mengapa Menteri Tjahjo, PDIP, Golkar dan Nasdem takut?

Keinginan tetap menggunakan PT dengan mendasarkannya pada Pemilu 2014 sebelumnya juga tidak ada pijakan rasionalitasnya. Pertama, PT hasil Pemilu 2014 itu sudah digunakan dalam Pilpres 2014 itu juga. Tidak ada rasionalitasnya untuk digunakan kedua kali dalam Pilpres berikutnya tahun 2019. Kedua, dalam setiap lima tahun, peta kekuatan politik sudah berubah.

Generasi baru yang dulu belum ikut Pemilu, sekarang ikut. Pendukung partai juga bisa berubah. Pemilu 2014 dukung Partai A, 2019 bisa saja menjadi pendukung Partai B. Sebab itu, menurut UUD 45, Pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Jadi apa alasan PDIP, Golkar dan Nasdem yang tetap menghendaki adanya PT dalam Pilpres 2019?

Kalau saya mengandaikan nanti akan ada voting di DPR — plus DPD yang juga ikut membahas RUU ini — maka belum tentu PDIP, Golkar dan Nasdem bisa memenangkannya. Namun jika suara DPR dan DPD mencapai mayoritas, Pemerintah — dalam hal ini diwakiki oleh Mendagri Tjahjo — tetap ngeyel, maka kemungkinan RUU ini deadlock pembahasannya.

Kalaupun nanti ada kompromi, PT tetap ada tapi angkanya diturunkan misalnya menjadi 10 persen, dan angka itu diambil dari hasil Pemilu 2014, saya berpendapat kompromi itu tetap bertentangan dengan UUD 45. Maka saya berkeyakinan Mahkamah Konstitusi akan membatalkan kompromi itu. Kita tunggu saja perkembangannya. []

Jakarta, 2 Mei 2017

Facebook Comments Box