Kenapa Isu Terorisme dan Radikalisme Islam Sepi? Apa Kesimpulannya?

Di penghujung pemerintahan Jokowi, isu terorisme dan radikalisme yang dikait-kaitkan dengan Islam mereda dan pada masa Prabowo sekarang, kedua isu yang menuding dan menyudutkan umat Islam ini hilang dari peredaran. Mengapa? Dan bagaimana hal ini terjadi?
Analisa kita ialah sebagai berikut:
Tren konflik global, saat ini ialah bukan lagi konflik antar proksi, tapi sudah langsung konflik antara pihak yang asli dengan yang asli. Lihat saja, fenomena perang dagang China vs Amerika saat ini.
Dahulu, Amerika menggunakan proksi atau dalam bahasa kita di Indonesia, pakai tangan orang, untuk memukul lawannya. Misalnya, untuk memukul dan menghancurkan Uni Soviet, Amerika bekerjasama dengan mobilisasi mujahidin internasional di medan perang Afghanistan. Begitu juga, untuk mencegah kecenderungan hegemoni politik Islam di Indonesia di akhir Orde Baru, Amerika melancarkan isu HAM, reformasi politik, dan radikalisme Islam. Selanjutnya setelah pergerakan mujahidin internasional menggeliat, Amerika menggunakan isu terorisme untuk menghancurkan kekuatannya hingga ke akar-akarnya, lalu menetralisirnya dengan isu deradikalisasi dan mainstreaming moderatisme guna menghilangkan “lahan” yang potensial menjadi tempat tumbuh apa yang Amerika sebut ancaman terorisme dan radikalisme, seperti pesantren, ormas, madrasah dan inisiasi undang-undang dalam rangka proyeksi tersebut.
Tetapi rupanya zaman tidak selamanya di bawah kontrol Amerika. Di Asia Timur, muncul kekuatan potensial untuk mengubah permainan (game change) Amerika dalam menguasai dunia. Dialah China. China menggelar permainannya bukan dengan eksploitasi konflik, tapi membuka arena damai yaitu membangun koneksi perdagangan yang menguntungkan bagi setiap negara dengan Belt and Road Initiative. Arena permainan yang digelar China ini, melemparkan Amerika dari gelanggang permainan. Akibatnya, sikap iri dan sirik Amerika terhadap China berkembang menjadi permusuhan.
Konflik saat ini yang berada di puncak ialah konflik antara China dengan sekutunya melawan Amerika dan sekutunya secara langsung, baik di medan perang, diplomasi maupun di medan perdagangan. Akibatnya, Amerika yang bermain proksi dan kambing hitam guna mengaduk-aduk potensi musuhnya, kehilangan relevansi metodik. Isu HAM, isu terorisme, radikalisme, dan mainstreaming moderatsme, tidak lagi secara langsung menguntungkan Amerika, justru isu tersebut menguntungkan China.
Karena pion-pion dan aktor-aktor lokal di berbagai tempat yang mengeksploitasi isu HAM, terorisme, radikalisme, pengarusutamaan moderatisme tersebut merupakan formasi pemain yang diciptakan oleh Amerika, maka untuk shifting menjadi kaki tangan hegemoni China, tentu tidak mudah. Sementara itu, Amerika sudah mengubah strateginya, dari perang proksi menjadi perang blok dalam melawan kemajuan dan kebangkitan China yang tidak terlawan (ingat Aukus). Akibatnya, perang proksi dan metode aduk-aduk yang digelar oleh Amerika selama ini, tutup buku. Puncaknya, saat ini USAID telah distop suplai pendanaannya.
Jika USAID sebagai kuasa prima dari LSM pro Amerika tutup, tentu dagangan isu HAM, terorisme dan radikalisme Islam serta moderatisme pun juga tidak ada lagi pembiaya dan pembelinya. Maka inilah penjelasan mengapa isu-isu yang selama ini memojokkan kaum muslimin mulai redup dan hilang dari peredaran. Umat Islam seharusnya bersyukur dan menyusun langkah baru guna tidak lagi dikerjai, baik oleh Amerika maupun China di masa sekarang dan akan datang.
Ini menjadi pelajaran bagi kita sebagai orang Muslim, bahwa sebetulnya selama ini yang mendera kita dengan permainan isu terorisme sehingga melahirkan beragam lembaga pemukul, seperti Densus, BNPT, dsb, moderatisme yang melahirkan penyesuaian doktrin Islam sehingga tampak aneh dan kehilangan keaslian Islamnya, bahwa semua itu TERNYATA BERASAL DARI PROYEK REKAYASA AMERIKA. Berapa banyak umat Islam dan tokoh-tokoh umat Islam kehilangan nyawa dan ternetralisir selama kampanye panjang Amerika sejak 1979 (Revolusi Islam Iran) hingga 2020, yang berakhir sejak isu Covid 19 dan memuncak ketika sekarang Amerika diperintah oleh Donald Trump periode kedua, apakah kita sepatutnya menuntut Amerika mengganti rugi dengan akibat kampanye brutal dan jahat mereka itu? Sisa-sisa mereka yang dinetralisir dan diindoktrinasi moderatisme itu masih tersisa di antara kita, yang sekarang Amerika tidak lagi butuhkan seperti di masa lalu. Amerika justru membutuhkan doktrin Islam yang dimasak ulang untuk benci dan anti China guna proksi baru Amerika melawan China.
Afala ta’qilun dan janganlah kalian jatuh ke lobang perangkap yang sama.