‘Kenapa Mereka Minta Revisi UU ITE Sementara Baru Disahkan dan Ditolak di MK?’

 ‘Kenapa Mereka Minta Revisi UU ITE Sementara Baru Disahkan dan Ditolak di MK?’

JAKARTA – Anggota Komisi I DPR RI Syaiful Bahri Anshori angkat suara terkait polemik revisi UU ITE khususnya pada pasal 27 ayat (3) di UU Nomor 11 tahun 2008 itu. Dalam UU itu dinilai oleh sejumlah menjadi aturan yang bisa membahayakan demokrasi dan membungkam proses kritik di Indonesia karena siapa pun yang anggap melanggar pasal itu bisa dikenai sanksi pidana.

Untuk diketahui, awalnya undang-undang itu lahir untuk mengatur atau memberikan payung hukum tetap terkait informasi dan transaksi elektronik yang sejalan dengan kemajuan teknologi. Di mana UU tersebut disahkan di Jakarta 21 April 2008 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kala itu.

“Begini lho! UU ITE itu kan belum lama diundang kan kok tiba-tiba minta direvisi, bahkan di-Perpu-kan, kalau  ada yang kurang mestinya harus dicantumkan di pasal mana dan bab apa?,” kata Syaiful pada wartawan Lintas Parlemen, Kamis (18/2/2021) dini hari tadi.

Syaiful mempertanyakan sikap sejumlah kalangan yang meminta UU itu diubah. Padahal UU tersebut pernah dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Meski Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka peluang UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk direvisi. Namun, bagi Syaiful harus jelas karena jauh sebelumnya, Waketum Partai Gerindra Habiburokhman pernah menggugat UU ITE itu ke Mahkamah Konstitusi (MK), tapi kandas atau ditolak.

Hal tersebut Berdasarkan Putusan MK Nomor 76/PUU-XV/2017, Selasa (16/2/2021), Pasal 28 ayat (2) dan 45A ayat (2) UU ITE yang dinilai sejumlah kalangan berpotensi dijadikan alat untuk mengkriminalisasi dalam mengeluarkan pendapat karena ketidakjelasan definisi kata ‘antargolongan’.

“Harus jelas, jangan karena ada satu orang merasa terusik rasa keadilannya kemudian undang-undang-nya minta direvisi dan minta dibuatkan Perpu, wah bisa gawat. Padahal UU ini pernah dibawa ke MK dan sudah dianggap tudak masalah. Kok tiba-tiba ada seorang yang merasa terusik rasa keadilannya minta direvisi,” ujar Syaiful mempertanyakan pihak yang meminta revisi UU tersebut.

Yang perlu ditempuh saat ini menurut Syaiful yang juga Politisi Senior PKB ini, pihak pemerintah mensosialisasikan UU tersebut. Mengingat masih banyak masyarakat yang belum paham pasal-pasal yang dianggapnya berbahaya.

“Begini, saya rasa UU ini belum semua masyarakat mengetahui atau mengerti. Mestinya pemerintah mensosialisasikan dulu terhadap UU ini. Jadi, biar tidak punya kesan bahwa kita tidak grusa grusu menghadapi proses atau hasil keputusan di pengadilan,” jelas mantan Ketum PB PMII ini.

Di Baleg DPR RI sendiri, revisi UU ITE masuk Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024 nomor urut 7 usulan DPR. Namun bukan masuk Prolegnas Prioritas 2021.

“Terus bagaimana nanti kalau misal nih jadi direvisi atau keluar Perpu ada yang merasa terganggu rasa keadilannya direvisi atau setelah keluar perpu kemudian ada yang timbul masalah yan sama, kemudian minta revisi lagi-lagi. Wah! Kalau begini ya gawat doong! Lebih baik kita tunggu aja sampai UU ini diajami diperlakukan dengan baik sehingga membuat suasana tenang tidak grudak gruduk karena ada satu dua orang yang merasa keadilannya terusik dengan UU ini. Padahal rasa keadilan terusik belum tentu karena undang-undang ini tapi bisa juga karena faktor lain,” papar IKA SUKA IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta ini. (HMS)

Facebook Comments Box