Konflik Bupati vs Wakil Bupati di Daerah ‘Diadukan’ ke DPR

JAKARTA – Pemililhan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung memberikan efek pada sistem pemerintahan di daerah khususnya antara jabatan bupati dan wakil bupati. Sejatinya, sistem kepemimpinan di daerah lebih kuat untuk memberikan pelayanan pada masyarakat.
Untuk itu, Anggota Komisi II DPR RI Firman Soebagyo menyayangkan ketimpangan kewenangan bupati dan wakil bupati (kepala daerah dengan wakil kepala daerah).
“Perlu disadari kepada kita semua bahwa kepala daerah dengan wakil kepala daerah merupakan pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat secara paket. Artinya, secara konstitusi, wakil kepala daerah terpilih juga memiliki saham dalam pemerintahan ini. Keduanya harus bersinerji dalam memimpin pemerintahannya di daerah,” kata Firman pada wartawan usai bertemu dengan sejumlah Wakil Bupati seluruh Indonesia Forum Wakil Kepala Daerah (Forwakada) di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (17/6/2019) kemarin.
“Namun Fakta di lapangan, ada wakil kepala daerah justru tidak memiliki hak kewenangan yang jelas. Bagi kami, setelah melihat dan mempelajari hal itu, ada kesalahan dari segi aturan atau regulasi. Sehingga Undang-Undang (UU) yang terkait dengan Pemilu dan Pilkada, harus diamandemen yang nantinya akan mengatur keseimbangan hak dan kewajiban dari kepala daerah dan wakil tersebut,” jelas Firman.
Politisi Senior Golkar itu melihat, banyak ketimbang terjadi usai pelantikan bupati dan wakil bupati tersebut. Di antaranya, bupati mendominasi pengelolaan pemerintahan daerah sehingga wakil bupati hanya sebatas pelengkap saja.
“Ketika bupati dan wakil bupati telah dilantik dan menduduki jabatannya, mereka tidak diberikan kewenangan, ini akan menimbulkan ketidakadilan. Untuk itu, kita perlu bersama-sama memberanikan untuk mengambil satu sikap mengubah regulasi itu. Padahal, jika kita cermati, wakil bupati itu juga bagian daripada proses politik yang diusulkan oleh partai politik di daerah,” papar Firman yang juga asal Pati, Jawa Tengah ini.
Ketua Umum Ikatan Keluarga Pati (IKKP) ini menjelaskan bahwa kontribusi wakil bupati cukup besar, khususnya saat digelarnya Pilkada. Tanpa wakil bupati, maka dukungan suara dari rakyat tak terpilih.
“Persoalan ini tidak boleh diabaikan begitu saja. Kita harus segera dibuat amandemen UU terutama UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,” tegasnya.
Firman menegaskan Amandemen UU harus dilakukan dan dibuat secara jelas sehingga tidak ada lagi ketimpangan yang terjadi di daerah sehingga mengganggu pemerintahan daerah. Mengingat hak dan kewajiban dari kepala dan wakil kepala daerah harus jelas dan spesifik, agar ke depan tidak menimbulkan norma-norma yang multitafsir dalam mengaktualisasikan regulasi tersebut.
“Setelah UU itu telah usai dibahas, semua pihak harus menyadari bahwasanya kewenangan dari wakil kepala daerah tidaklah melebihi kepala daerah. Itu harus dijalankan,” pungkas Firman.
Sementara itu Wakil Bupati Agam, Sumatera Barat, Trinda Farhan Satria yang ikut serta dalam rombongan Forwakada menyampaikan,berbeda dengan daerah lain,justru di Kabupaten Agam, hubungan antara Bupati dan Wakil Bupati berjalan Harmonis dan relatif tidak memiliki masalah,sangat kontradiktif dengan daerah lain.
Trinda Farhan menjelaskan hubungan kepala Daerah dan wakil kepala daerah tergantung kepada orangnya,ditandai dengan proses komunikasi dan hubungan baik dalam menjalankan tugas ,akan tetapi, perbaikan regulasi dan sistem diperlukan dalam memberikan kejelasan dan tata kelola pemerintah daerah kedepannya.
Selain itu,pasangan Bupati dan Wakil bupati Agam merupakan contoh pasangan yang sering di sebut di kemendagri dan sumbar sebagai pasangan kepala daerah yang sangat harmonis.” ungkap Trinda Farhan yang disebut-sebut akan maju sebagai bupati Agam pada Pilkada Serentak 2020. (Ajib)