‘Konflik Pilkada Tolikara Tak Bakal Ada jika Ditangani Sesuai Asas dan Prinsip Pemilu’
JAKARTA – Ketua Voter Initiative for Democracy (IViD) Rikson Nababan mengatakan sengketa atau konflik Pilkada Tolikara, Papua tak bakal ada jika penyelenggaran pemilihan kepala daerah itu dilaksanakan sesuai asas dan prinsip pemilu. Untuk itu, sengketa itu harus diselesaikan dengan memenuhi asas dan prinsip penyelenggaraan pemilu yang berkeadilan tanpa kekerasan.
“Setiap penyelenggaraan pemilu ataupun pemilihan, selain wajib memenuhi asas penyelenggaraaan, pelaksanaanx pun harus memenuhi prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu/pemilihan. Di mana di antaranya, ada soal kepastian hukum, berkeadilan, dan tanpa kekerasan,” jelas Rikson, Jakarta, Kamis (12/10/2017)
Sebagai informasi, Pasca penetapan pemenang pilkada Tolikara, Papua oktober 2016 lalu oleh MK, tanggal 3 April 2016, melalui putusan selanya, telah menyatakan penyelenggaraan pilkada Tolikara di 18 distrik cacat hukum. Sehingga perlu dilakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang diselenggarakan pada tanggal 24 Mei 2017.
“Sebagai warga negara yang baik dan percaya pada institusi negara, seharusnya semua pihak dapat menerima keputusan itu dengan legowo. Karena menurut saya, hasil tersebut sudah pula memenuhi unsur kepastian hukum dan keadilan,” terangnya.
Rikson menyampaikan aksi kekerasan yang dilakukan oleh salah satu pendukung calon bupati yang tidak menerima hasil pilkada Tolikara kurang bijak. Meski demikian, ia menyayangkan kurangnya kesigapan aparat keamanan mengawal para pengunjuk rasa di lingkungan Kementerian Dalam Menteri tersebut.
“Kejadian tersebut bisa terjadi karena mungkin, mungkin loh ya, karena ketidak-siapan aparat keamanan dalam menjaga penyampaian aspirasi tersebut,” terangnya.
Namun demikian, lanjutnya, ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan. Pertama, negara tidak boleh tunduk ataupun lemah dalam menciptakan sebuah kepastian hukum.
“Atas apa yang terjadi di Kemendagri kemarin, menurutku karena negara dalam hal ini Mendagri belum juga memberikan kepastian hukum atas hasil penyelenggaraan pemilihan di Tolikara. Padahal, mulai dari proses penetapan hasil oleh KPU Provinsi kepada DPRD, DPRD Tolikara kepada gubernur atas hasil agar segera dilakukan pelantikan sudah terlaksana,” papar Rikson.
“Ruang ini, mungkin, yang dijadikan celah bagi masyarakat yang merasa masih memiliki harapan untuk melakukan sebuah kegiatan yang siapa tahu dapat merubah hasil putusan penetapan pemilihan di Tolikara,” sambungnya.
Menurutnya, apapun alasannya, Mendagri seharusnya tidak melakukan penundaan pelantikan. Sebagaimana diatur dalam pasal 160 ayat 4 UU 10 tahun 2016 Tentang Perubahan kedua atas UU No. 1 tahun 2015 Tentang Penetapan PP pengganti UU No.1 tahun 2014 tentang pemilihan Gub, Bupati dan walikota menjadi UU, jelas disebutkan, paling lama 20 hari sejak diterimanya usulan dan berkas.
Selain itu, lanjutnya, pengawas pemilu juga, mungkin lalai dalam memastikan seluruh tahapan pemilihan dapat berlangsung dengan baik. Pelantikan adalah bagian dari tahapan pemilihan, dan menjadi bagian yang wajib diawasi.
“Faktanya, pengawas pemilu seolah melakukan pembiaran atas tidak adanya atau belum adanya kepastian hukum pelaksanaan tahapan pelantikan kepala daerah tolikara,” pungkas Rikson. (Fahri)