Lamhot Ungkap Rencana Wisata Sibisak Terancam Batal: Minimnya Dukungan Pemerintah Bangun Infrastruktur Dasar

 Lamhot Ungkap Rencana Wisata Sibisak Terancam Batal: Minimnya Dukungan Pemerintah Bangun Infrastruktur Dasar

JAKARTA – Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Lamhot Sinaga menyoroti minimnya dukungan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur dasar di kawasan pariwisata. Lamhot mencontohkan kasus kawasan wisata Sibisak seluas 380 hektare yang telah mendapatkan komitmen investasi puluhan triliun rupiah untuk membangun hotel bintang lima dan bandara private jet. Namun, karena infrastruktur dasar yang dijanjikan pemerintah belum terealisasi, investasi tersebut terancam batal.

Hal itu disampaikan Lamhot saat memimpin Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) DPR RI dengan para pakar di bidang pariwisata di Nusantara I, Senayan, Jakarta, pada Senin (17/2/2025).

“Sudah lebih dari tiga tahun tidak ada realisasi infrastruktur, padahal ada komitmen investasi besar di sana. Kalau tahun ini tidak ada kepastian, investor akan mundur,” kata Lamhot.

Untuk itu, Lamhot menyampaikan bahwa perubahan undang-undang harus mempertimbangkan norma hukum yang lebih adaptif. Lamhot menilai pentingnya pemisahan antara aturan teknis yang dapat diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan norma besar yang harus dimasukkan dalam undang-undang.ada membahas perubahan Undang-Undang Kepariwisataan.

Dalam rapat tersebut, Komisi VII menyoroti sejumlah permasalahan utama, termasuk pengaturan investasi, pembangunan infrastruktur, serta peran pemerintah dalam mendukung sektor pariwisata.

“Kita harus menentukan sejak awal, mana yang masuk dalam UU dan mana yang cukup diatur dalam PP. Norma besar ada dalam UU, sementara hal-hal teknis dapat diserahkan ke PP,” ujar Lamhot.

Lamhot juga menyoroti salah satu isu utama yang disoroti adalah minimnya dukungan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur dasar di kawasan pariwisata. Lamhot mencontohkan kasus kawasan wisata Sibisak seluas 380 hektare yang telah mendapatkan komitmen investasi puluhan triliun rupiah untuk membangun hotel bintang lima dan bandara private jet. Namun, karena infrastruktur dasar yang dijanjikan pemerintah belum terealisasi, investasi tersebut terancam batal.

Selain infrastruktur, regulasi tentang kepemilikan tanah bagi investor juga menjadi kendala. Saat ini, aturan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) membatasi hak guna tanah untuk pariwisata hanya 30 tahun, sementara investor menginginkan minimal 50 tahun. Padahal, Undang-Undang Cipta Kerja sudah memungkinkan perpanjangan hingga 90 tahun untuk mendukung investasi jangka panjang.

Dalam rapat, DPR juga menyoroti tren menurunnya anggaran Kementerian Pariwisata dari Rp5 triliun beberapa tahun lalu menjadi sekitar Rp729 miliar pada 2025. Namun, meski anggaran berkurang, indeks pariwisata Indonesia justru meningkat dari peringkat 40 ke posisi 22 dunia.

“Ini menunjukkan bahwa besaran anggaran tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan sektor pariwisata. Namun, kita tetap harus mencari formula terbaik agar industri ini bisa tumbuh tanpa terlalu bergantung pada APBN,” ujar Lamhot.

Komisi VII DPR RI berharap masukan dari para pakar dapat membantu menyusun revisi UU Kepariwisataan yang lebih adaptif, memberikan kepastian hukum bagi investor, serta mendorong pengembangan sektor pariwisata yang lebih berkelanjutan.

Facebook Comments Box