Langkah Bawaslu Gandeng Tokoh Agama Dinilai Tepat dan Maju

 Langkah Bawaslu Gandeng Tokoh Agama Dinilai Tepat dan Maju

Achmad Fachrudin/Pimpinan Bawaslu DKI Jakarta

JAKARTA – Langkah Bawaslu RI menggandeng tokoh lintas agama untuk merumuskan materi khutbah agama untuk mencegah politik SARA (Suku, Agama, Ras antar Golongan) di Pemilu/Pilkada merupakan langkah tepat, maju, dan cerdas. Sebab, secara empirik selama ini banyak muncul pergesekan konflik berbasis isu SARA namun jarang dibahas secara tuntas dan terbuka dengan melibatkan para pihak yang berkepentingan secara langsung dengan isu tersebut, dalam hal ini tokoh lintas agama.

Hal tersebut dikemukakan Direktur Eksekutif Literasi Politik Indonesia Achmad Fachrudin pada wartawan, Jakarta, Sabtu (10/2/2018)

Agar langkah itu efektif dan maksimal, Abah sapaan Achmad Fachrudin menyarankan, Bawaslu harus menyusun kerangka acuan dari kegiatan tersebut yang komprehensif dan jelas. Termasuk merumuskan Daftar Isian Masalah (DIM) isu politik SARA dalam Pilkada.

“Serta mempertimbangkan berbagai kemungkinan atau pandangan lain yang muncul dari forum ini. Karena membicarakan politik SARA dalam politik dan Pemilihan akan membuka kotak Pandora dimana akan banyak masalah yang selama ini di bawah permukaan, sensitif atau dianggap tabu lalu didialogkan secara terbuka,” jelas Abah.

Namun, lanjut Abah, masalah ini lebih baik dibahas secara tuntas daripada selalu menjadi arena debat kusir dan saling menyalahkan antara pihak yang satu dengan pihak lainnya.

Untuk itu, Fachrudin menyarankan, tokoh lintas agama yang diundang dan dilibatkan dalam kegiatan tersebut harus mewakili institusi formalnya, seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), MUI, PB NU, PP Muhammadiyah, PGI, Walubi, Matakin, dan sebagainya.

Bahkan, bagi Abah, gagasan itu perlu melibatkan perwakilan dari pemerintah, DPR, partai politik, Organisasi Masyarakat Sipil, ahli bahasa dan lain sebagainya. Tujuannya, supaya hasil pembahasan tersebut mempunyai komprehensif dan memiliki legitimasi kuat.

“Bahkan diharapkan dapat mewujudkan pemahaman yang sama terkait dengan politik SARA, seperti soal definisi kampanye yang bernuansa SARA, apa yang boleh dan tidak boleh dalam pelibatan SARA dalam Pemilihan disertai contoh narasinya, dan sebagainya,” terangnya.

Harapan selajutnya, kata mantan Komisioner Bawaslu DKI, hasil rumusan dari kegiatan ini dapat menjadi bahan masukan bagi DPR dan pemerintah dalam membuat perbaikan UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, serta KPU dan Bawaslu dalam PKPU dan Perbawaslu khususnya terkait dengan rambu-rambu-rambu kampanye maupun materi kampanye dalam kegiatan sosialisasi, pendidikan politik dan pendidikan pemilih yang dilakukan oleh stakeholder Pemilu/Pilkada secara sistematis dan massif.

Berbekal pengalaman saat Pilkada DKI 2017 yang kala itu marak politik SARA, ia mengatakan, dalam mengelola atau menyelesaikan problem politik SARA tidak bisa hanya diselesaikan dengan pendekatan hukum belaka.

“Jika hanya itu yang ditempuh, mungkin secara kasat mata masalahnya dapat diselesaikan, namun berpeluang memicu konflik berkepanjangan, massif dan membuat kondisi politik menjadi tidak kondusif.

Sebaliknya, pintanya, perlu pula melibatkan pendekatan non hukum, seperti koordinasi yang baik dengan aparat keamanan dan tokoh-tokoh masyarakat dan agama.

“Itulah kunci keberhasilan Pilkada DKI 2017 menjadi aman dan damai,” ujar dosen di sejumlah perguruan tinggi di Jakarta ini. (A3)

Facebook Comments Box