LGBTQ+ dalam Perspektif Fikih Kontemporer: Tantangan dan Solusi Dakwah Islam di Era Globalisasi

 LGBTQ+ dalam Perspektif Fikih Kontemporer: Tantangan dan Solusi Dakwah Islam di Era Globalisasi

Oleh: Munawir K, Dosen UIN Alauddin Makassar

Fenomena LGBTQ+ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer, dan lainnya) telah menjadi isu global yang berkembang pesat, khususnya di era globalisasi. Arus informasi yang begitu cepat memungkinkan penyebaran ide-ide yang bertentangan dengan syariat Islam, termasuk normalisasi perilaku LGBTQ+.

Gerakan ini tidak hanya ditampilkan sebagai bagian dari kebebasan individu, tetapi juga diperjuangkan sebagai hak asasi manusia yang harus diterima secara universal. Dalam konteks ini, umat Islam menghadapi tantangan yang kompleks, baik dalam memahami fenomena ini secara fikih kontemporer maupun dalam menjalankan dakwah yang sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan sunnah.

Dalam fikih Islam, perilaku homoseksualitas secara tegas dinyatakan bertentangan dengan fitrah manusia dan dilarang keras. Hal ini didasarkan pada kisah kaum Nabi Luth yang diabadikan dalam Al-Qur’an, serta berbagai hadits Rasulullah SAW yang mengutuk perbuatan tersebut.

Namun, tantangan yang dihadapi umat Islam tidak hanya sebatas pada menjelaskan hukum, melainkan juga bagaimana menghadapi realitas sosial yang semakin kompleks. Isu LGBTQ+ menjadi lebih rumit ketika dikaitkan dengan relativisme moral, krisis identitas, serta pengaruh globalisasi yang semakin menguatkan normalisasi perilaku ini di berbagai negara, termasuk negara-negara dengan mayoritas Muslim.

Pendekatan dakwah Islam terhadap isu LGBTQ+ di era globalisasi memerlukan strategi yang tidak hanya berbasis pada teks-teks keagamaan, tetapi juga mempertimbangkan aspek psikologis, sosial, dan budaya. Sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, Islam menuntut pendekatan yang penuh hikmah, kasih sayang, dan edukasi dalam menangani setiap bentuk penyimpangan.

Dakwah tidak hanya berfungsi untuk menyampaikan kebenaran, tetapi juga untuk membimbing umat kembali kepada fitrah dengan cara yang bijaksana.

Kajian ini bertujuan untuk membahas fenomena LGBTQ+ dalam perspektif fikih kontemporer dengan penekanan pada dalil-dalil Al-Qur’an, hadits, qaul sahabat, dan pandangan ulama klasik maupun modern. Selain itu, kajian ini juga akan mengeksplorasi tantangan dakwah di era globalisasi dan menawarkan solusi praktis untuk membentengi umat dari pengaruh negatif fenomena ini, sekaligus menunjukkan wajah Islam sebagai agama yang menghargai kemanusiaan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip syariat.

Pengertian LGBTQ+

1. Lesbian

Wanita yang tertarik secara emosional, romantis, atau seksual kepada sesama wanita.

2. Gay

Biasanya merujuk kepada pria yang memiliki ketertarikan emosional, romantis, atau seksual kepada sesama pria. Namun, dalam beberapa konteks, istilah ini juga digunakan untuk mencakup semua individu homoseksual, termasuk wanita.

3. Bisexual

Seseorang yang tertarik secara emosional, romantis, atau seksual kepada lebih dari satu jenis kelamin.

4. Transgender

Individu yang identitas gendernya berbeda dari jenis kelamin yang ditetapkan saat lahir. Misalnya, seseorang yang lahir sebagai laki-laki tetapi merasa dirinya sebagai perempuan, atau sebaliknya.

5. Queer/Questioning

Queer: Istilah umum yang digunakan untuk mencakup berbagai identitas seksual dan gender yang tidak sesuai dengan norma heteroseksual atau cisgender.

Questioning: Seseorang yang masih dalam proses mengeksplorasi atau mempertanyakan orientasi seksual atau identitas gendernya.

6. + (Plus)

Melambangkan berbagai identitas lain yang mencakup panseksual, aseksual, interseks, dan identitas lain yang tidak termasuk dalam kategori utama di atas.

Aspek Sosial LGBTQ+

Secara sosial, LGBTQ+ menjadi bagian dari diskursus global mengenai hak asasi manusia, diskriminasi, dan penerimaan terhadap keberagaman orientasi seksual dan identitas gender. Dalam beberapa masyarakat, komunitas LGBTQ+ diterima dengan baik, sementara di masyarakat lain mereka menghadapi stigma, diskriminasi, bahkan penolakan keras.

Namun, pandangan Islam terhadap LGBTQ+ lebih kompleks, dengan perspektif hukum dan moral yang secara tegas mengatur hubungan antar manusia. Hal ini berakar pada sumber hukum utama, yaitu Al-Qur’an dan Hadits, yang menetapkan fitrah manusia berdasarkan hubungan antara laki-laki dan perempuan.

LGBTQ+ dalam Perspektif Islam

Islam secara tegas menetapkan bahwa hubungan seksual hanya dibenarkan dalam ikatan pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Segala bentuk penyimpangan dari fitrah ini, termasuk homoseksualitas, transgenderisme, dan perilaku sejenis lainnya, dianggap bertentangan dengan syariat.

a. Larangan Perbuatan Kaum Luth dalam Al-Qur’an

1. QS. Al-A’raf: 80-81

وَلُوطًا إِذۡ قَالَ لِقَوۡمِهِۦٓ أَتَأۡتُونَ ٱلۡفَٰحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنۡ أَحَدٖ مِّنَ ٱلۡعَٰلَمِينَ

إِنَّكُمۡ لَتَأۡتُونَ ٱلرِّجَالَ شَهۡوَةٗ مِّن دُونِ ٱلنِّسَآءِۚ بَلۡ أَنتُمۡ قَوۡمٞ مُّسۡرِفُونَ

Dalam ayat ini, Allah menggambarkan perilaku kaum Nabi Luth sebagai fahisyah (perbuatan keji) yang belum pernah dilakukan oleh umat sebelumnya. Penekanan pada kata “ما سبقكم بها من أحد من العالمين” menegaskan bahwa tindakan ini sangat menyimpang hingga tidak dikenal di masyarakat sebelumnya. Penyebutan “قوم مسرفون” menunjukkan bahwa perilaku tersebut adalah bentuk melampaui batas dari fitrah manusia.

2. QS. Asy-Syu’ara: 165-166

أَتَأۡتُونَ ٱلذُّكۡرَانَ مِنَ ٱلۡعَٰلَمِينَ

وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمۡ رَبُّكُم مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُمۡۚ بَلۡ أَنتُمۡ قَوۡمٌ عَادُونَ

Allah menegaskan penyimpangan kaum Luth melalui pertanyaan retoris, “Apakah kalian mendatangi laki-laki dan meninggalkan istri-istri yang diciptakan Tuhan untuk kalian?” Kata “عادون” menunjukkan bahwa mereka telah melampaui batas dari hukum fitrah, yaitu hubungan laki-laki dan perempuan yang Allah tetapkan.

b. Larangan dalam Hadits Nabi SAW

1. Laknat bagi Pelaku Hubungan Sejenis

لَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ

“Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan seperti perbuatan kaum Luth.” (HR. Ahmad).

Hadits ini menekankan kemurkaan Allah terhadap pelaku homoseksualitas. Kata “لعن” berarti diusir dari rahmat Allah, menunjukkan betapa beratnya dosa ini di sisi syariat.

2. Hukuman bagi Pelaku Perbuatan Keji

مَنۡ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا ٱلۡفَاعِلَ وَٱلۡمَفۡعُولَ بِهِ

“Barang siapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah pelaku dan pasangannya.” (HR. Abu Dawud).

Hadits ini menggambarkan hukuman tegas dalam hukum Islam terhadap pelaku homoseksualitas. Namun, penerapan hukuman ini memerlukan proses pengadilan syar’i yang ketat.

c. Pandangan Sahabat dan Ulama

1. Qaul Ibnu Abbas RA

أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ ٱلۡقِيَامَةِ مَنۡ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ

“Manusia yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah mereka yang melakukan perbuatan kaum Luth.”

Pernyataan ini menunjukkan betapa seriusnya ancaman azab bagi pelaku homoseksualitas, yang dianggap melawan fitrah penciptaan manusia.

2. Ijma’ Ulama

Para ulama sepakat bahwa homoseksualitas adalah dosa besar (kaba’ir). Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad menetapkan bahwa pelaku homoseksualitas harus dihukum sesuai dengan syariat. Konsensus ini menunjukkan betapa tegasnya Islam dalam menjaga moralitas umat.

2. Tantangan Dakwah terhadap LGBTQ+ di Era Globalisasi

a. Normalisasi LGBTQ+ melalui Media Global

Media global memainkan peran besar dalam menormalisasi LGBTQ+ sebagai bagian dari hak asasi manusia. Nilai-nilai ini sering kali bertentangan dengan syariat, sehingga menimbulkan tantangan bagi para dai.

ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS. An-Nahl: 125).

Ayat ini menuntut pendekatan dakwah yang bijaksana dan penuh hikmah. Dakwah harus mengutamakan dialog yang santun dan argumentasi yang kuat untuk melawan normalisasi LGBTQ+ tanpa menimbulkan kebencian.

b. Relativisme Moral dan Krisis Identitas

Relativisme moral membuat banyak orang memandang semua nilai setara, termasuk perilaku LGBTQ+. Hal ini mempersulit umat Islam untuk membedakan antara nilai agama dan budaya modern.

وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada pilihan lain bagi mereka tentang urusan mereka.” (QS. Al-Ahzab: 36).

Ayat ini mengajarkan bahwa hukum Allah harus menjadi pedoman utama, bukan opini masyarakat.

c. Islamofobia dan Stigma terhadap Syariat

Penolakan Islam terhadap LGBTQ+ sering dianggap sebagai diskriminasi atau kebencian. Tantangan ini memerlukan kesabaran dalam berdakwah.

وَٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنۡ عَزۡمِ ٱلۡأُمُورِ

“Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (QS. Luqman: 17).

Ayat ini mendorong para dai untuk tetap sabar dan konsisten dalam menyampaikan kebenaran.

3. Solusi Dakwah Islam terhadap LGBTQ+

a. Pendidikan Agama yang Kuat

Pendidikan agama sejak dini sangat penting untuk membentengi umat dari pengaruh negatif globalisasi.

b. Pendekatan Psikologis dan Spiritual

Dakwah harus dilakukan dengan kasih sayang, memperhatikan kondisi psikologis pelaku LGBTQ+ tanpa menghakimi.

إِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ

“Sesungguhnya kalian diutus untuk mempermudah, bukan untuk mempersulit.” (HR. Bukhari).

c. Pemanfaatan Media untuk Dakwah

Umat Islam harus memanfaatkan media untuk menyebarkan pandangan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Kesimpulan dan Penutup

Fenomena LGBTQ+ merupakan salah satu tantangan besar bagi umat Islam di era globalisasi. Dalam perspektif fikih kontemporer, perilaku ini secara jelas bertentangan dengan fitrah manusia dan hukum syariat Islam, sebagaimana ditegaskan melalui dalil-dalil Al-Qur’an, hadits, serta ijma’ ulama. Kisah kaum Nabi Luth menjadi peringatan penting tentang bahaya penyimpangan seksual yang tidak hanya merusak moralitas individu tetapi juga membawa konsekuensi sosial yang besar. Sementara itu, fikih kontemporer tetap mengedepankan pendekatan hikmah dalam menyikapi fenomena ini, mempertimbangkan dinamika sosial yang terus berkembang.

Di sisi lain, era globalisasi menghadirkan tantangan baru bagi dakwah Islam. Penyebaran nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam melalui media global, relativisme moral, dan stigma terhadap syariat menuntut para dai untuk mengembangkan strategi dakwah yang relevan, efektif, dan berorientasi pada rahmatan lil ‘alamin. Pendekatan dakwah yang mengedepankan kasih sayang, dialog, dan edukasi adalah kunci dalam membimbing individu LGBTQ+ kembali kepada fitrah manusiawi mereka tanpa menimbulkan kebencian atau diskriminasi.

Sebagai penutup, penting bagi umat Islam untuk tidak hanya memahami hukum syariat terkait LGBTQ+, tetapi juga mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan globalisasi melalui pendidikan agama yang kuat, pemanfaatan media untuk dakwah, serta penguatan nilai-nilai Islam dalam keluarga dan masyarakat. Islam, sebagai agama yang mengajarkan keseimbangan antara akhlak dan hukum, memberikan solusi yang tidak hanya bersifat normatif tetapi juga bersifat transformatif.

Dengan demikian, fenomena LGBTQ+ tidak hanya dapat dihadapi dengan bijaksana, tetapi juga dapat menjadi momentum untuk memperkuat peran dakwah Islam sebagai jalan untuk menyelamatkan dan membimbing manusia menuju kebaikan yang hakiki.# Wallahu A’lam Bishawab

 

 

Facebook Comments Box