Maju Mundur Reshuffle Kabinet
Oleh: Ujang Komarudin*
Pasca lebaran, isu reshuffle Kabinet Kerja mencuat kembali. Kabar ini merebak setelah Presiden Jokowi secara intens memanggil sejumlah menterinya ke istana sepekan terakhir.
Beberapa bulan lalu, rumor kocok ulang kabinet sempat mengemuka. Wacana tersebut menghangat pasca bergabungnya PAN dan Partai Golkar ke dalam gerbong koalisi pemerintahan. Seiring waktu, isu reshuffle meredup.
Memanasnya kembali isu perombakan kabinet ini menjadi akumulasi dari kasak-kusuk selama beberapa bulan terakhir. Sejumlah analisis dan kalkulasi dikemukakan, mengapa kali ini reshuffle akan dilakukan dalam waktu dekat.
Yang pertama adalah pemenuhan akomodasi bagi PAN dan Partai Golkar yang telah resmi merapat ke Istana. Dukungan tambahan ini telah mengubah konfigurasi politik, utamanya komposisi parpol di parlemen. Tidak ada makan siang gratis, terlebih dalam politik. Jatah menteri dianggap sebagai ganjaran layak bagi kedua parpol tersebut.
Selanjutnya, moment kali ini bertepatan dengan evaluasi setahun sejak reshuffle jilid I dilakukan pada Agustus 2015 lalu. Presiden tentunya memiliki catatan lengkap terkait kinerja para menterinya. Durasi satu tahun dirasa cukup untuk memberikan penilaian dan tinjauan kembali.
Momentum lain adalah terkait pembahasan dan penyusunan APBN-P 2016, juga pidato kenegaraan serta nota keuangan 2017 yang akan disampaikan oleh Presiden Jokowi pada bulan Agustus 2016. Kedua peristiwa tersebut dapat menjadi penanda fase waktu, bahwa jika terdapat perubahan komposisi pembantu Presiden, awak baru dapat langsung mengikuti.
Sah-sah saja jika ada analisis latar belakang reshuffle tadi. Yang harus diingat, landasan utama perombakan kabinet hendaknya berkenaan dengan kinerja.
Dikotomi latar belakang parpol atau non-parpol menjadi tidak relevan jika kinerja menjadi pertimbangan utamanya. Jika memang performanya bagus, pertahankan. Bila berkinerja buruk, harus digeser atau diganti, apapun latar belakangnya.
Beberapa parameter ‘buruk’ yaitu menteri yang menghambat akselerasi kerja, yang lebih banyak kontroversi dibanding prestasi, atau yang bekerja namun tidak sejalan dengan Nawa Cita.
Mengukur kerja kabinet hendaknya dilakukan secara keseluruhan, bukan hanya berdasarkan satu-dua variabel saja. Jika ada satu-dua kesalahan namun tidak fatal dan secara umum kinerjanya masih baik, tentu masih dapat ditolerir.
Reshuffle kabinet merupakan hak prerogatif Presiden. Pernyataan klise ini memuat kebenarannya. Sistem pemerintahan Presidensial yang kita anut memberikan wewenang penuh kepada Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan untuk mengangkat dan memberhentikan menterinya.
Meskipun demikian, jika isu reshuffle kabinet terus bergulir liar tanpa kepastian, hal ini akan menciptakan turbulensi politik yang berimbas pada ketidakstabilan ekonomi. Tanpa iklim politik yang kondusif, pasar akan cenderung wait and see, para pelaku usaha tidak akan nyaman dalam menjalankan perannya.
Selain itu roda pemerintahan juga tidak akan berjalan secara efektif. Rasa waswas dalam bekerja bukan sebuah situasi yang menguntungkan. Beberapa menteri mengklaim tidak terpengaruh dengan isu reshuffle, tapi rasanya itu hanyalah respon diplomatis. Padahal, setumpuk pekerjaan besar telah menanti.
Isu utamanya masih seputar ekonomi dan polhukam. Melambatnya perekonomian global, ancaman defisit anggaran, ketahanan dan harga pangan, serta lesunya sektor usaha di dalam negeri tentunya harus ditanggapi dengan sigap.
Di sektor polhukam, isu terorisme, penyanderaan WNI di luar negeri, juga gerakan separatis Papua membutuhkan perhatian ekstra. Sementara itu, evaluasi mudik maut, kasus vaksin palsu, dan berbagai dinamika permasalahan lainnya juga tak boleh dianggap enteng.
Mudah saja bagi semua pihak untuk mengklaim ‘memperoleh info A1’, atau ‘mendapat bocoran dari istana’, namun sampai Presiden sendiri yang mengumumkan secara resmi, info tersebut masih dalam taraf rumor belaka. Hendaknya semua pihak dapat menahan diri untuk tidak berspekulasi lebih lanjut.
Meski berpenampilan sederhana, Presiden Jokowi merupakan sosok yang terkadang sukar ditebak. Berulang kali suara dan desakan yang datang dari berbagai penjuru terbukti membuatnya tak bergeming. Ini memberikan Jokowi sense of authority, sebagaimana ia dengan dingin menunjuk Tito Karnavian sebagai calon Kapolri tunggal.
Reshuffle kabinet jilid kedua, jika memang benar akan dilakukan harus kembali kepada spirit namanya, Kabinet Kerja, di mana performa kerja, bukan kalkulasi lain yang menjadi pertimbangan utamanya. Menteri adalah jabatan politis berdasarkan konfigurasi politik dalam sebuah pemerintahan, namun mewujudkan Zaken Kabinet, yaitu pemilihan menteri sesuai kompetensi dalam bidangnya adalah sebuah hal yang tak dapat ditawar.
*Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Jakarta