Membaca Karakter Pemilih Warga Jakarta
Oleh: Hendra Sunandar, Penulis adalah alumni Program Studi Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta dan Peneliti Presidential Studies
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta adalah salah satu pilkada yang paling mendapat sorotan media jika dibandingkan pilkada di daerah lain. Hal itu wajar karena selain sebagai ibukota dan barometer politik tingkat nasional, DKI Jakarta menjadi lokasi wilayah pemerintah pusat dengan dinamika sosial, politik dan arus perputaran ekonomi yang cukup tinggi.
Oleh karena tidak heran, jika masing-masing calon gubernur DKI berupaya semaksimal mungkin melakukan sosialisasi baik itu melalui bertatap langsung, menghadiri deklarasi dukungan, door to door serta kampanye melalui akun media sosial.
Ketiga pasangan calon gubernur yakni Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana Murni, Basuki Tjahja Purnama – Djarot Syaiful Hidayat dan Anies Baswedan – Sandiaga Uno tentu akan menghadapi berbagai karakteristik pemilih warga Jakarta serta berupaya semaksimal mungkin agar dipilih oleh masyarakat.
Dalam studi perilaku pemilih (political behavior) dalam perkembangan Ilmu Politik terdapat tiga mazhab perilaku pemilih yakni mahzab sosiologis, mazhab psikologis dan mazhab ekonomi politik. Ketiga mazhab tersebut cukup mampu dipakai untuk membaca karakter pemilih warga Jakarta.
Pertama, Mazhab Sosiologis didefinisikan sebagai pendekatan yang memfokuskan pada karakter pemilih yang berdasarkan pertimbangan sosiologis seperti agama, kelas sosial, etnis dan suku, model ini dalam perkembangannya banya disebut sebagai SES (socio economic status) yang menjadikan faktor bawaan dari lahir menjadi penentu bagi masyarakat dalam menentukan pilihan politik.
Jika dilihat dari mazhab ini, pasangan Ahok-Djarot dua dibandingkan dua kandidat lain yakni Agus-Sylvi dan Anies-Sandi adalah yang paling mendapatkan terpaan informasi yang kurang baik dan berpotensi sulit menjangkau pemilih dengan karakteristik sosiologis ini.
Mengingat, akhir-akhir ini pemberitaan yang cukup massif mengenai polemik pernyataan Ahok soal surat Al Maidah ayat 51 serta sentiment anti China cukup mempengaruhi elektabilitas Ahok.
Hal itu dibuktikan dari rentetan hasil survey terhadap Ahok yang terus menurun, meskipun masih tetap teratas. Pada rilis yang dikeluarkan Skala Survey Indonesia (SSI) pada Februari 2016 berada di anga 47,1%, namun pada Oktober 2016 menurun menjadi 33,8%. Isu sosiologis nampaknya cukup mempengaruhi perpindahan dukungan terhadap Ahok kepada dua pasangan lain.
Selain itu, Pasangan Agus-Sylvi dan Anies-Sandi Nampak harus bersaing ketat memperoleh dukungan dari masyarakat berkarakter sosiologis yang sudah jelas tidak memilih Ahok tersebut. Namun dalam perspekif sosiologis, keberadaan Sylviana Murni yang merupakan wanita kelahiran Jakarta dan asli keturunan betawi memiliki keunggulan tersendiri jika dibanding Anies-Sandi yang secara sosiologis keduanya bukan keturunan asli betawi.
Dalam konteks sosiologis dengan aspek preferensi Agama, pasangan Agus-Sylvi dan Anies-Sandi akan bersaing ketat. Seperti contoh keberadaan ormas Islam seperti FPI, GPII, Laskar Jihad dan lain-lain hanya menegaskan penolakannya terhadap Ahok dan belum menegaskan dukungan politiknya antara Agus-Sylvi atau Anies-Sandi.
Sehingga masyarakat dengan karakter ini akan terpecah dukungannya, namun perlu diingat masyarakat Jakarta dengan karakter sosiologis ini jumlahnya tidak signifikan karena mayoritas masyarakat Jakarta tergolong terdidik dan memiliki arus informasi yang besar. Karakter masyarakat sosiologis ini cukup signifikan di daerah pelosok.
Kedua, Mazhab Psikologis menjelaskan perilaku pemilih lebih dikarenakan faktor kedekatan dan memiliki informasi yang cukup untuk menentukan pilihan politiknya. Mazhab ini menegaskan bahwa faktor personalitas dan kepribadian memiliki peran untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Kepribadian pemimpin yang kurang bersahabat dengan masyarakat bisa menjadi faktor ditinggalkannya dukungan pemilih.
Dalam konteks ini, Ahok nampaknya kurang mampu menggapai karakteristik pemilih psikologis. Pemberitaan mengenai maraknya gusuran yang dilakukan Ahok semasa menjadi Gubernur cukup mampu membuat elektabilitasnya menurun. Meskipun disisi lain juga mendapatkan apresiasi karena berhasil membawa masyarakat menjadi tertib huni.
Pasangan Agus-Sylvi dan Anies-Sandi nampaknya juga akan bersaing ketat dalam memperebutkan pemilih dengan karakteristik ini. Tak heran banyak korban gusuran yang dilakukan Ahok mengadu dan meminta pertolongan kepada kedua pasangan tesebut. Lagi-lagi Agus-Sylvi dan Anies-Sandi memperebutkan segmentasi pemilih yang sama.
Informasi dan berita yang beredar tentang ketiga pasangan calon memiliki peran signifikan dalam menentukan pilihan politik bagi masyarakat yang berkarakter psikologis ini. Karena yang terbangun dalam karakteristik ini adalah persepsi yang disebabkan oleh faktor sosialisasi politik yang terjadi.
Oleh karena itu, peran partai politik pendukung tiga pasangan calon dalam melakukan kampanye memiliki peran yang signifikan dalam membangun persepsi bagi masyarakat berkarakter psikologis ini.
Bagaimana dengan pemilih muda? Tidak ada kecenderungan yang massif mengenai pemilih muda, namun keberadaan Agus Harimurti yang merupakan kontestan termuda dalam Pilgub ini juga Nampak lebih diunggulkan dalam menggapai pemilih muda. Tampil dengan gaya yang sporty saat berjumpa masyarakat juga mampu menjadi daya tarik untuk memilihnya, khususnya pemilih muda.
Selain itu, dari aspek ketampanan juga menjadi magnet bagi pemilih dengan karakter psikologis ini.
Ketiga, mazhab ekonomi politik atau pilihan rasional yang menempatkan aspek evaluasi kinerja dan pertimbangan ekonomi menjadi faktor penting dalam menentukan pilihan politik.
Mazhab ini berakar pada karya Anthony Downs dalam An Economic Theory of Democracy yang mengatakan bahwa evaluasi masyarakat terhadap kondisi dan capaian ekonomi serta pembangunan akan memberikan penghargaan terhadap pejabat yang sedang menjabat, sebaliknya jika evaluasinya negatif maka masyarakat akan memberikan hukuman dengan tidak memilihnya kembali dalam pemilu mendatang.
Dalam mazhab ini, Ahok-Djarot menempati posisi teratas untuk memperoleh dukungan dari segmentasi masyarakat rasional. Hal ini yang tidak terlihat dari pasangan Agus-Sylvi dan Anies-Sandi. Masyarakat tidak bisa melihat rekam jejak Agus Harimurti, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dalam kiprahnya membangun Jakarta, sehingga sulit mendapatkan dukungan dari masyarakat rasional yang rata-rata memiliki jenjang pendidikan tinggi.
Kecuali Sylviana Murni yang merupakan birokrat dari Pemprov DKI Jakarta sejak lama. Keberadaan Sylvi menjadi keuntungan tersendiri bagi Agus Harimurti untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat dengan karakter rasional ini, meskipun dukungan yang didapat tidak sebesar dukungan yang diperoleh Ahok-Djarot.
Hal tersebut dikarenakan Sylvi berprofesi sebagai PNS yang bekerja tanpa sorotan media, berbeda hal dengan kiprah Ahok selama 5 tahun di Jakarta yang selalu mendapatkan sorotan media dan berdampak positif bagi masyarakat yang membacanya.
Keunggulan Ahok-Djarot dalam merebutkan segmentasi pemilih rasional ini terlihat dari banyaknya responden yang menilai positif kinerja Ahok selama 5 tahun dalam membangun Jakarta.
Posisi teratas yang diperolehnya dalam berbagai survey pun tak lepas dari faktor pemilih rasional ini, sehingga sulit bagi Agus-Sylvi dan Anies-Sandi untuk menjangkau pemilih rasional tersebut karena belum memiliki rekam jejak yang terekam dalam ingatan publik.
Berdasarkan ulasan ini, menurut penulis rivalitas sengit justru terjadi pada pasangan Agus-Sylvi dan Anies-Sandi dalam upaya memperebutkan masyarakat dengan karakteristik sosiologis dan psikologis yang sudah jelas tidak akan dimenangkan Ahok ini.
Meskipun begitu, Ahok tetap akan diunggulkan di masyarakat dengan karakteristik rasional. Yang perlu dicatat yakni jumlah pemilih rasional di DKI Jakarta cukup signifikan, hal ini dikarenakan masyarakat Jakarta sebagaian besar berpendidikan dan dalam menentukan sikap politik penuh dengan pertimbangan dan evaluasi kinerja.
Pemberitaan dan opini publik hingga Februari 2017 pun juga sangat mempengaruhi pilihan politik masyarakat Jakarta yang cukup dinamis ini. Terlepas dari tingginya suhu politik yang terjadi di Jakarta, ini adalah suatu prestasi demokrasi yang patut diapresiasi, masyarakat kini sudah ‘melek’ politik dan bebas menentukan pilihan politiknya demi kemajuan DKI Jakarta.