Membahas Kembali Persoalan Terpidana dalam UU
JAKARTA, Lintasparlemen.com – Sejatinya UU pileg dan pilpres masih mengatur bahwa terpidana yang ancamannya di bawah 5 tahun masih diperbolehkan untuk menjadi calon.
Norma yang ada saat ini UU Nomor 10 tahun 2016 adalah norma yang ada di Pasal 33 huruf h UU nomor 22 tahun 1999 yang berbunyi sebagai berikut:
Tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana dan ini norma yang dianggap tidak konstitusional, oleh karena itu dilakukan revisi dalam pasal 58 huruf f UU 32 tahun 2004 yang berbunyi sebagai berikut: tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih (dibatasi pada ancaman hukuman 5 (lima) tahun atau hukuman berat,
Pasal 7 huruf g UU No. 8 tahun 2015 yang berbunyi sebagai berikut: tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, Adapun putusan MK nomor 4 tahun 2009, norma ini oleh MK ditambahkan harus mengumumkan kepada publik dan bukan kejahatan yang berulang-ulang, bukan hukuman ringan (culpa Levis) dan juga bukan pidana politik dan rumusan ini bertahan dan berlaku dalam UU pileg No. 8 tahun 2012 pasal 51 ayat (1) huruf g dan UU pilpres No 42 tahun 2008 pasal 5 huruf n, artinya dalam UU ini masih diperbolehkan calon yang terkena hukuman pidana selama ancaman hukumannya dibawah 5 (lima) tahun sehingga pasal 7 ayat (2) huruf g UU No. 10 Tahun 2016 ini adalah karena adanya kejanggalan, kembali ke UU No. 22 tahun 1999.
Rumusan norma pasal 7 ayat (2) huruf g UU No 10 Tahun 2016 ini sesuai surpres usulan pemerintah yang kita percaya bahwa ini adalah putusan MK no. 42 tahun 2015 padahal putusan MK tersebut tidak menghilangkan angka ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, Putusan MK No. 42 tahun 2015 berbunyi sebagai berikut:
Walaupun demikian belakangan ini disadari oleh pembentuk undang-undang bahwa sejatinya Putusan MK ini seharusnya tidak dimaknai seperti itu dan usulan Pemerintah dalam Pasal ini adalah KELIRU. Inti dari Putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015 sejatinya adalah Mahkamah Konstitusi melihat syarat keterbukaan secara berbeda.
Sehingga bagi mantan terpidana yang boleh untuk tidak secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Putusan MK ini tidak sama sekali menghapus ketentuan ancaman hukuman yang 5 (lima) tahun atau lebih sebagaimana norma umum yang diatur dalam UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden begitu juga UU No. 8 Tahun Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Walaupun demikian norma usulan pemerintah yang pada akhirnya menjadi norma yang berlaku dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU No. 10 Tahun 2016 adalah norma yang berbeda dimana batasan bagi ancaman bagi hukuman Pidana yang 5 (lima) tahun telah dihapuskan sehingga hal ini menimbulkan ketidakdilan.
Seharusnya norma yang tepat dalam menyikapi Putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015 adalah sesuai norma dalam Peraturan KPU No. 12 Tahun 2015 yang merupakan perubahan dari Peraturan KPU No. 9 Tahun 2015 yang mengatur mengenai pencalonan dalam rangka menyesuaikan dalam UU No. 8 Tahun 2015 akibat Putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015 ini. KPU dalam Peraturan KPU No. 12 Tahun 2015 telah menyisipkan pengaturan yakni huruf f1 dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015 yang berbunyi:
“Bagi calon yang pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan tidak bersedia secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik sebagai mantan terpidana, syarat yang harus dipenuhi adalah telah selesai menjalani pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun sebelum dimulainya jadwal pendaftaran”.
Norma seperti inilah yang seharusnya diatur dalam UU No. 10 Tahun 2016. Oleh karena itu sebagai bentuk tindaklanjut dari pembentuk undang-undang, dalam rangka mewujudkan rasa keadilan, dan sebagai bentuk pelaksanaan norma Pasal 9 huruf a UU No. 10 Tahun 2016 maka Pembentuk undang-undang memutuskan bahwa KPU RI untuk memasukkan norma kebolehan bagi pembentuk undang-undang untuk memberikan keadilan
Para Pembuat UU khususnya DPR dan Pemerintah sadar sepenuhnya bahwa rumusan norma ini tidak didalami lebih lanjut dalam pembahasan sehingga rumusan pasal 7 ayat (1) huruf g UU nomor 10 tahun 2016 ini bertentangan dengan Putusan MK, dan apa yang dilakukan oleh DPR RI dan Pemerintah dalam mengatur PKPU adalah solusi demi keadilan dan kepastian hukum,karena pasal ini kebablasan.
Norma ini kembali ke norma awal oleh karena itu harus ada yang membenarkan dicerahkan ke public bahwa isi rumusan norma pasal ini bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum, bahkan saran lebih lanjut oleh pakar harus dilakukan Perpu atau Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi tetapi hal ini tidak mungkin ditempuh karena mengingat waktu pelaksanaan Pilkada tahun 2017 sudah mendesak, sehingga perlu diatur dalam Peraturan KPU semata.
Marasakti Siregar, SH Sekjen DPP Persatuan Advocat Muda Indonesia