Membangun Masyarakat Berpengetahuan
Oleh: Sri Hargyanto Suryoprayudo*
Melihat kondisi Pendidikan Tenaga Kerja Indonesia menurut data Februari tahun 2016 yang dirilis Harian Kompas 4 Oktober 2016, sangat memprihatinkan.
Bagaimana tidak, dari 120,647,697 tenaga kerja 4,300,148 tidak pernah sekolah, 48,132,167 hanya sampai SD dan 21,487,275 hanya sampai SLTP berarti ada 73,913,490 atau 61,26 persen.
Belum lagi lulus SLTA, dan disamping itu yang terjadi pada anak usia sekolah tingkat putus sekolah di SD masih tergolong sangat tinggi. Sesuai data Kemedikbud tahun 2015 angka melanjutkan dari SD ke SLTP hanya 77,27 % artinya ada 22,73% atau 1,014,079 anak tidak lulus atau lulus SD yang tidak melanjutkan dan kondisi ini terakumulasi dari tahun 2012 – 2015 ada 5,034,072 anak usia sekolah yang tidak melanjutkan ke SLTP.
Kondisi ini jika dibiarkan akan menjadi beban bangsa di masa yang akan datang. Tentu akan melumpuhkan negara ini, seperti apa yang disampaikan oleh Daoed Yoesoef dalam tulisannya “Menata Ulang Pendidikan“ pada Harian Kompas tanggal 25 Januari 2017, bahwa ada dua cara yang membuat Negara bangsa semakin lama semakin lumpuh.
Pertama, melibatkannya dalam peperangan atau konflik berkepanjangan. Kedua, apabila pendidikan anak-anak bangsa diabaikan. Kedua aksi tersebut, walau tanpa disadari, sedang terjadi di NKRI.
Secara formal Indonesia memang tidak berperang. Tetapi, secara faktual ia sudah dikacau oleh aneka disguised proxy wars berupa hibrida, peredaran narkoba, penisbian moral kebangsaan, serta pencermaran nilai-nilai ke-Pancasila-an dan ke-Bhineka Tunggal Ika-an.
Disamping kondisi pendidikan pada anak usia sekolah, yang paling penting dan ini merupakan kondisi darurat adalah kondisi pendidikan tenaga kerja kita. Karena kelompok inilah yang telah memberi warna terhadap gerak langkah dalam berbangsa dan bernegara.
Oleh sebab itu perlu dilakukan “Revolusi Pendidikan”, mengutip pernyataan Anggota DPR RI Komisi X, Ridwan Hisjam pada terbitan online beberapa waktu yang lalu.
Revolusi Pendidikan artinya adalah melakukan perubahan mendasar dari proses pembelajaran sehingga masyarakat pekerja yang belum lulus SLTA mau dan mampu mengikuti Pendidikan Kesetaraan dengan mudah dan murah.
Inisiatif yang diusulkan adalah menata ulang Pendidikan Kesetaraan dari Pendidikan Kesetaraan konvensional menjadi Pendidikan Kesetaraan adaptif. Artinya Pendidikan Kesetaraan yang bisa diadaptasi oleh siapapun warga masyarakat dimanapun dengan mudah dan murah.
Tentu itu, harus didukung kebijakan dan tata kelola yang melibatkan seluruh komponen bangsa sehingga Revolusi ini dapat terlaksana.
Ada 73,913,490 warga masyarakat sasaran merupakan calon pemilih pemimpin bangsa dan mereka akan mendapatkan manfaat dari iniistif ini. Mereka akan disibukan dengan kegiatan positif belajar pengetahuan juga akan memberi dampak pada peningkatan derajat dan penghargaan sebagai warga bangsa.
Sehingga secara sosial, ekonomi dan politik serta psikologis akan mempengaruhi kehidupan bangsa Indonesia, dalam menata dan membangun masa depan menuju masyarakat sejahtera.
Penulis: Pengamat Pendidikan Tinggal di Malang