Menanti Sepak Terjang Tito Sebagai Kapolri

 Menanti Sepak Terjang Tito Sebagai Kapolri

Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Kapolri Tito Karnavian

Oleh: Ujang Komarudin*

Presiden Joko Widodo secara resmi telah menunjuk Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri guna menggantikan Badrodin Haiti yang dalam waktu dekat memasuki masa purnabakti.

Kabar penunjukan Tito sebagai pengganti Badrodin ini pertama kali disampaikan oleh Ketua DPR RI Ade Komarudin pada Rabu (15/06/2016).

Penunjukan Tito disambut dengan gegap gempita oleh mayoritas publik. Respon positif dari berbagai pihak mengindikasikan ekspektasi tinggi kepada Tito dalam mengemban amanah sebagai pucuk pimpinan Korps Bhayangkara ini.

Uji kelayakan dan kepatutan terhadap Tito telah dilaksanakan, disusul dengan pengesahan pencalonan melalui Paripurna DPR pada Senin (27/06/2016) lalu. Kedua proses tersebut juga dilalui Tito dengan mulus tanpa hambatan berarti.

Meski belum definitif, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, pelantikan Tito sebagai Kapolri akan dilakukan Presiden Jokowi setelah perayaan Hari Bhayangkara 1 Juli 2016.

Menarik sekali mencermati reaksi masyarakat serta politikus akan Komjen Tito. Puja dan puji dilontarkan kepada penerima Adhi Makayasa lulusan tahun 1987 ini, di antaranya bahkan berasal dari pihak yang selama ini dikenal kritis terhadap kebijakan pemerintah.

Semua pujian itu memang beralasan. Tito seorang prajurit par excellence, salah satu putra terbaik yang kini dimiliki oleh Polri. Kecerdasan jauh di atas rata-rata, rangkaian prestasi gemilang, serta rekam jejak yang nyaris tak tercela menjadi buktinya.

Isu Senioritas

Satu hal yang menjadi perhatian berbagai pihak adalah mengenai perihal hierarki. Tito ‘memotong’ regenerasi dengan melompati sejumlah angkatan di atasnya. Isu senioritas ini dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak internal dalam tubuh Polri. Beralasankah anggapan tersebut?

Kekhawatiran ini dapat dimaklumi. Sebagai bangsa yang dikenal memiliki kecenderungan kuat paternalistik, usia atau senioritas seseorang menjadi salah satu pertimbangan utama untuk dijadikan panutan atau pimpinan.

Fenomena ini tidak hanya berlaku di Polri, namun juga kerap kita temui pada himpunan lain dalam cakupan yang lebih luas, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang lebih tua kita junjung tinggi, biasanya diikuti rasa sungkan untuk mendahului mereka dalam banyak hal.

Tapi dengan mengatakan isu hierarki ini akan menghambat tugas Tito sebagai Kapolri rasanya terlalu berlebihan. Selain memiliki kemampuan manajerial yang mumpuni, Tito juga terlihat mempunyai pola komunikasi yang baik kepada semua pihak, termasuk pada seniornya.

Indikasi yang dapat menjadi preseden adalah, saat dilakukan uji kelayakan dan kepatutan di DPR, sejumlah perwira tinggi Polri dari berbagai angkatan turut mendampingi Tito. Dari mulai angkatan tertua yang masih bertugas hingga rekan seusianya hadir untuk memberikan dukungan.

Sebelumnya, Tito mengaku telah sowan ke senior-seniornya, termasuk Budi Gunawan dan Budi Waseso, dua nama yang sempat mencuat ke permukaan sebagai calon kuat Kapolri. Bahkan, Tito juga menemui Megawati Soekarnoputri terkait pencalonan dirinya.

Ini membuktikan Tito tidak memiliki masalah yang berarti dalam melakukan komunikasi internal, termasuk kepada para seniornya. Dengan gestur komunikasi Tito yang matang dan simpatik, riak-riak yang berpotensi timbul dalam internal Polri kiranya akan dapat diredam sehingga tidak akan menjadi persoalan besar.

Tantangan Terbesar: Reformasi Internal

Tantangan utama Tito justru dalam membuktikan visi misi yang diusungnya. Secara umum, rencana program kerja yang diungkap Tito menekankan proyeksi pembenahan internal Polri secara menyeluruh.

Program internal yang menjadi fokus Tito meliputi pembenahan postur organisasi dan sarana-prasarana, sumber daya manusia, kesejahteraan anggota, hingga pelayanan dan kepercayaan publik.

Harus diakui bahwa reformasi di tubuh Polri masih jauh dari optimal. Ini dibuktikan dengan kepercayaan publik yang masih rendah kepada Polri sebagai sebuah institusi penegak hukum. Berdasarkan survei Indo Barometer pada Oktober 2015, kepercayaan publik kepada Polri hanya sebesar 56 persen. Angka ini tertinggal jauh dengan tingkat kepercayaan kepada KPK yang mencapai 82 persen.

Korupsi dan pelayanan publik yang buruk masih menjadi isu negatif yang melekat kuat dalam persepsi masyarakat. Tito berjanji akan membenahi situasi ini dari hulu hingga ke hilir, diawali dengan perbaikan proses perekrutan anggota Polri.

Terkait perekrutan anggota, Tito menekankan evaluasi pengetatan rekrutmen berdasarkan kualitas dan rasio guna mengatasi budaya korupsi, hedonis, dan konsumtif. Adalah sebuah rahasia umum bahwa kultur korup di kepolisian kerap dimulai sejak pendaftaran anggotanya.

Tito juga berjanji akan menempatkan perwira yang berkompeten dan reformis untuk menguatkan proses reformasi internal, bukan sekadar faktor kedekatan tertentu sebagaimana yang lazim menjadi pertimbangan.

Pendekatan kesejahteraan dan pengetatan aturan serta implementasinya bagi anggota menjadi formula Tito untuk menekan korupsi. Ia berjanji akan menuntaskan tunjangan kinerja remunerasi Polri yang hingga kini masih di angka 57 persen atau baru setengah dari target.

Remunerasi Polri ini terkait erat dengan anggaran, dan Tito memiliki pengalaman dalam bidang ini dengan pernah menjabat sebagai Asisten Kapolri Bidang Perencanaan Umum dan Anggaran (Asrena).

Tito juga menyatakan akan membuat Peraturan Kapolri (Perkap) yang mengatur soal bisnis anggota Polri. Pasalnya, saat ini peraturan mengenai bisnis anggota Polri dinilai rancu. Tito mengatakan perlu ada mekanisme berupa uji kelayakan apakah bisnis tersebut melanggar atau berpotensi konflik atau tidak.

Mengenai pembenahan eksternal Polri, yang utama adalah penguatan sinergi dengan penegak hukum lain dalam hal ini adalah KPK dan Kejaksaan. Hubungan Kepolisian utamanya dengan KPK yang sempat naik turun, menjadi salah satu pekerjaan besar bagi Tito. Dalam hal ini, ia memang belum teruji.

Isu-isu mayor lain yang akhir-akhir ini mengemuka seperti terorisme, narkoba, intoleransi terhadap kaum minoritas, kekerasan kepada perempuan, hingga kelompok separatis di berbagai daerah seperti Poso dan Papua juga menanti tindakan penyelesaian.

Reformasi menyeluruh dalam sebuah institusi besar seperti Polri tentunya membutuhkan tahapan proses yang panjang dan berliku. Tito berkesempatan untuk menjalankannya, mengingat ia memiiki sebuah privilege yang jarang dimiliki Kapolri pendahulunya yaitu ruang-waktu yang lebih lebar, mengingat masa pensiunnya yang masih sekitar enam tahun lagi.

Rekam jejak fenomenal serta rencana formula kebijakan yang meyakinkan menjadi modal awal Tito menjadi Tri Brata-1. Sungguh tinggi harapan publik untuk Tito. Masyarakat menanti kepiawaian Tito Karnavian demi mewujudkan Polri sebagai institusi penegak hukum yang profesional, berintegritas dan mengayomi tanpa diskriminasi.

* Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Jakarta

Facebook Comments Box